1. Sejarah
Di daerah Sumatera Utara, ada dua kerajaan atau kesultanan Melayu yang terkenal, yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan yang pertama kali berdiri adalah Deli. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi friksi dan konflik internal antara keluarga raja dalam kesultanan Deli tersebut. Akibatnya, muncul kemudian kesultanan baru yang memisahkan diri dari Deli, yaitu Serdang. Berdasarkan garis asal-usul ini, maka sebenarnya kedua kerajaan ini pada awalnya adalah satu, dan Serdang tak lebih dari pecahan Kesultanan Deli.
Sejarah berdirinya kesultanan Deli bisa dirunut dari Kerajaan Aceh. Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Kerajaan Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M. dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630, ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan, Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh, dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Dalam perkembangannya, atas bantuan Kerajaan Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.
Gocah Pahlawan menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti. Sunggal merupakan sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Di daerah tersebut, ada empat Raja Urung Batak Karo yang sudah masuk Islam. Kemudian, empat Raja Urung Raja Batak tersebut mengangkat Laksamana Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana Gocah Pahlawan menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut. Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 M terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723 M. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli. Demikianlah, akhirnya Kesultanan Deli terpecah menjadi dua: Deli dan Serdang.
Pada tahun 1780, Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Tidak banyak catatan yang menjelaskan situasi dan kondisi Deli selama lepas dari kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri-negri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun, independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama, pada tahun 1854, Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh, dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia pada tahun 1858, ia digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud ini, ekspedisi Belanda I yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.
2. Silsilah
Urutan raja yang berkuasa di Deli adalah:
Sri Paduka Gocah Pahlawan (1632-1653)
Tuanku Panglima Perunggit (1653-1698)
Tuanku Panglima Paderap (1698-1728)
Sultan Panglima Gendar Wahid (1728-1761)
Tuanku Panglima Amaludin (1761-1824)
Sultan Osman Perkasa Alam (1824-1857)
Sultan Amaludin Mahmud Perkasa Alam Syah (1857-1873)
Sultan Mahmud al-Rasyid Perkasa Alam Syah (1873-1924)
Sultan Amaludin II Perkasa Alam Syah (1925-1945)
Sultan Osman II Perkasa Alam Syah (1945-1967)
Sultan Azmi Perkasa Alam Syah (1967-1998)
Sultan Osman III Mahmud Ma‘mun Paderap Perkasa Alam Syah (1998-2005)
Sultan Mahmud Arfa Lamanjiji Perkasa Alam Syah (2005-sekarang)
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Deli berdiri sejak paruh pertama abad ke-17 M, hingga pertengahan abad ke-20, ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama rentang masa yang cukup panjang tersebut, kerajaan Deli mengalami masa pasang surut silih berganti. Selama dua kali, Deli berada di bawah taklukan kerajaan Aceh. Ketika kerajaan Siak menguat di Bengkalis, Deli menjadi daerah taklukan Siak, kemudian menjadi daerah taklukan penjajah Belanda. Dan yang terakhir, Deli bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kerajaan Deli mencakup kota Medan sekarang ini, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina dan beberapa negeri kecil lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatera.
5. Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan. Permaisuri Sultan bergelar Tengku Maha Suri Raja, atau Tengku Permaisuri, sedangkan putera mahkota bergelar Tengku Mahkota. Putera dan puteri yang lain hanya bergelar tengku. Keturunan yang lain berdasarkan garis patrilineal hingga generasi ke lima juga bergelar tengku.
Dalam kehidupan sehari-hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya, raja/sultan dibantu oleh bendahara, syahbandar (perdagangan) dan para pembantunya yang lain.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Kehidupan sosial budaya berikut inipun sebenarnya tidak lepas dari pusat kekuasaan: sultan dan keluarganya.
Sejarah telah lama mencatat bahwa, ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia: Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan membangun istana yang mewah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah dan sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa. Saksi bisu kekayaan tersebut adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli yang masih berdiri megah di kota Medan hingga saat ini.
Berbeda dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya, dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Ketika komoditas tembakau sedang meledak di pasar Eropa, para petani tradisional tersebut banyak yang berpindah menanam tembakau, sehingga petani padi jadi berkurang. Komoditas pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, karet, cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama orang-orang Jawa dan Cina.
Dalam sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli.
Sumber:
Tengku Lukman Sinar. 1986. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya, Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Wikipedia
www.4dw.net/royalark
foto : koleksi pribadi