Orang Melayu pada umumnya, sandaran dan landasan utama untuk menjadi manusia yang sempurna lahir dan batin adalah dengan menghayati dan mengamalkan ajaran Islam yang mereka anut, serta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam adat istiadat, budaya dan norma-norma sosial yang berlaku dan diwarisi secara turun temurun.
Di dalam ungkapan adat dikatakan, jika hendak menjadi orang, tunjuk ajar janganlah kurang. Ungkapan lain menyebutkan kalau diri hendak bertuah, carilah ilmu dunia akhirat, bila hidup hendak selamat, tuntutlah ilmu dunia, kalau hidup hendak terpuji, salah dan kurang hendaknya diperbaiki, panjangkan akal dalamkan hati. Supaya selamat dunia akherat, kebodohan diri hendaklah ingat, suapay hidup tidak terbuang, elok dicari buruk dibuang. Acuan ini mendorong orang Melayu untuk meningkatkan kecerdasan dan kemampuannya, agar segala kekurangan dan kelemahannya dapat ditutupi atau dihilangkan sema sekali.
Selanjutnya orang tua-tua mengingatkan, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki keseimbangan antara pengetahuan dengan keimanan. Manusia yang memiliki keseimbangan ini disebut orang bertuah yang menjadi idaman orang Melayu. Untuk mewujudkan orang bertuah itu, diwariskan suatu falsafah yang disebut tunjuk ajar yang berisikan nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma sosial. Tunjuk ajar mengandung pula seruan agar setiap orang menuntut ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, asal tidak menyalahi aturan agama dan nilai-nilai luhur yang telah mereka warisi secara turun temurun. Ilmu itulah yang diyakini akan membawa manfaat bagi kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat.
Orang tua-tua Melayu amat arif dalam menyikapi kecenderungan manusia meniru kebudayaan asing yang dapat menyebabkan hilangnya kebudayaan lokal. Bagi orang Melayu, pengalaman atau pergaulan dengan suku-bangsa asing yang datang ke Riau mendorong mereka bersikap terbuka; namun dengan tetap berhati-hati. Sikap kehati-hatian ini dilakukan supaa mereka tidak mesti menerima atau menyerap semua unsur budaya asing, karena tidak semua unsur budaya asing serasi dan bermanfaat bagi mereka. Untuk menepis unsur budaya asing yang tidak serasi dan bermanfaat itu, merek sejak dini mewariskan tunjuk ajar yang berisi peringatan dalam menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing.
Di dalam ungkapan adat dikatakan, jika hendak menjadi orang, tunjuk ajar janganlah kurang. Ungkapan lain menyebutkan kalau diri hendak bertuah, carilah ilmu dunia akhirat, bila hidup hendak selamat, tuntutlah ilmu dunia, kalau hidup hendak terpuji, salah dan kurang hendaknya diperbaiki, panjangkan akal dalamkan hati. Supaya selamat dunia akherat, kebodohan diri hendaklah ingat, suapay hidup tidak terbuang, elok dicari buruk dibuang. Acuan ini mendorong orang Melayu untuk meningkatkan kecerdasan dan kemampuannya, agar segala kekurangan dan kelemahannya dapat ditutupi atau dihilangkan sema sekali.
Selanjutnya orang tua-tua mengingatkan, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki keseimbangan antara pengetahuan dengan keimanan. Manusia yang memiliki keseimbangan ini disebut orang bertuah yang menjadi idaman orang Melayu. Untuk mewujudkan orang bertuah itu, diwariskan suatu falsafah yang disebut tunjuk ajar yang berisikan nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma sosial. Tunjuk ajar mengandung pula seruan agar setiap orang menuntut ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, asal tidak menyalahi aturan agama dan nilai-nilai luhur yang telah mereka warisi secara turun temurun. Ilmu itulah yang diyakini akan membawa manfaat bagi kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat.
Orang tua-tua Melayu amat arif dalam menyikapi kecenderungan manusia meniru kebudayaan asing yang dapat menyebabkan hilangnya kebudayaan lokal. Bagi orang Melayu, pengalaman atau pergaulan dengan suku-bangsa asing yang datang ke Riau mendorong mereka bersikap terbuka; namun dengan tetap berhati-hati. Sikap kehati-hatian ini dilakukan supaa mereka tidak mesti menerima atau menyerap semua unsur budaya asing, karena tidak semua unsur budaya asing serasi dan bermanfaat bagi mereka. Untuk menepis unsur budaya asing yang tidak serasi dan bermanfaat itu, merek sejak dini mewariskan tunjuk ajar yang berisi peringatan dalam menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing.
Sumber:
Tenas Effendy, Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah, (BKPBM, Yogyakarta, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar