Sabtu, 29 November 2008

MERETAS IDENTITAS MELAYU BARU

Oleh : Mahyudin Al-Mudra
Pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu mesti beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sepertinya sudah tidak kontekstual dan memadai lagi, terlebih lagi di era globalisasi dan multikultural seperti sekarang ini.

Setidaknya ada dua alasan utama mengapa proposisi di atas diajukan. Pertama, mempertimbangkan fakta sejarah tentang migrasi orang-orang Melayu dari Teluk Tonkin (wilayah Yunan), Tiongkok Barat Daya, menuju nusantara yang berlangsung melalui dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung sekitar 5000-1500 tahun SM. Gelombang migrasi pertama orang-orang Melayu ini, atau yang disebut sebagai Melayu Tua (Proto Melayu), kemudian melahirkan keturunan-keturunan seperti Suku Batak, Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Nias di Sumatra, juga Suku Dayak di Kalimantan. Gelombang kedua, yang selanjutnya disebut sebagai Melayu Muda (Deutro Melayu), berlangsung sekitar 200-300 tahun SM. Disebabkan oleh penguasaan teknologi yang lebih baik, kehadiran orang-orang Melayu Muda ini selanjutnya membuat para pendahulunya terdesak karena kalah bersaing, sehingga orang-orang Melayu Tua terpaksa menyingkir ke kawasan-kawasan pedalaman. Karena posisinya yang lebih dominan, orang-orang Melayu Muda juga dengan leluasa menyebar ke seluruh penjuru nusantara untuk mengembangkan pemukiman baru. Dari keturunan mereka inilah kelak lahir suku-suku seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan suku-suku berbahasa Minangkabau (Yuanzi, 2005: 3-4).

Jika merujuk pada pendapat di atas, bisa dipastikan bahwa sebagian besar penduduk nusantara saat ini adalah tergolong rumpun Melayu (atau ras Mongoloid), kecuali sebagian besar penduduk asli di bumi Papua (ras Negrito) dan Suku Badui di Jawa Barat, serta Suku Toala di Sulawesi, yang tergolong ras Wedda. Mengenai dua suku yang disebut terakhir, memang masih debatable. Sebagian ahli menyebut mereka termasuk rumpun Melayu Tua, karena bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan sebagian besar orang Melayu, sedang yang lain menganggap tidak –karena mereka telah eksis jauh sebelum terjadi migrasi gelombang pertama orang-orang Yunan ke nusantara.

Kedua, mengkerutnya dimensi ruang-waktu akibat penetrasi globalisasi. Sebagai sebuah tren global, globalisasi telah menyediakan infrastruktur kebudayaan yang memungkinkan orang bergerak secara lebih leluasa, berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, melakukan kawin campur dengan ras lain, atau mengadopsi identitas dan budaya orang lain. Fenomena ini juga tidak bisa dihindari oleh orang-orang Melayu, sehingga bukan bukan hal yang aneh ketika saat ini kita menjumpai banyak orang Melayu tidak lagi tinggal di kawasan Melayu dan tidak lagi mempraktekkan tradisi dan budaya Melayu.

Berangkat dari dua alasan di atas, sebuah identitas baru bagi puak-puak Melayu cukup urgen untuk diwacanakan. Namun, tulisan ini tidak bermaksud menyuarkan kembali identitas romantik kemelayuan yang bernuansa eksklusif, sebagaimana tercermin dalam gagasan Melayu Raya dalam sistem Pan-Malaysianisme yang diwacanakan oleh Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an. Tulisan ini hendak menawarkan yang sebaliknya --berusaha mengafirmasi keragaman ekspresi berbudaya puak-puak Melayu di nusantara (bahkan dunia) –yang dalam konteks tertentu telah mengalami transformasi cukup massif akibat kehidupan dunia yang senantiasa berubah.



Ragam ekspresi

Meskipun secara historis suku-suku yang tinggal di nusantara dapat dianggap berasal dari nenek moyang yang sama, namun tersebab faktor-faktor tertentu mereka akhirnya membangun identitas kebudayaan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan orang-orang Eropa, yang konon juga berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu suku-suku bar-bar yang tinggal di kawasan –yang sekarang ini lebih dikenal sebagai Skandinavia.

Jika keragaman ekspresi kebudayaan nusantara direntang dari Sabang sampai Merauke, bisa dipastikan tak ada negara manapun di dunia ini yang memiliki tingkat keragaman budaya melebihi Indonesia. Terdapat ratusan, bahkan ribuan adat istiadat yang terbabar mulai dari tata cara perkawinan, tarian adat, pakaian adat, cara bercocok tanam, cara menyambut tamu, pembagian warisan, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketika hal-hal yang lebih abstrak juga dibandingan –misalnya saja tentang pandangan hidup –akan dijumpai betapa negeri kepulauan yang bernama Indonesia ini dihuni oleh ratusan kelompok etnik dengan berbagai macam konsep kosmologi dan sistem religi.

Bahkan, setelah “agama impor” (Hindu, Budha, Kristen, Islam) datang dan mulai menancapkan pengaruhnya di Indonesia, karakter universalnya tetap saja tak mampu menghapus keragaman adat-istiadat yang berkembang di nusantara. Dalam konteks tertentu, justru agama-agama tersebut yang dipaksa harus berdamai dengan adat-istiadat lokal. Sekedar contoh, sebut saja Islam Wetutelu yang berkembang di Lombok, Islam Kejawen, Islam Suku Talang Mamak, Islam Suku Kajang, atau agama adat Batak dengan konsep Debata na tolu-nya, yang dipengaruhi ajaran tri-murti agama Hindu.

Mendefinisikan identitas kemelayuan di tengah fakta sosial yang menyuguhkan keragaman ekspresi kebudayaan memang bukan persoalan mudah. Namun, hal inilah yang justru menjadi tantangan tersendiri. Selagi ihktiar tetap diniatkan di atas prinsip toleransi dan saling menghormati, keragaman budaya bukanlah kutukan, melainkan berkah sosial yang tak ternilai harganya.



Perspektif holistik-integratif

Melihat betapa beragamnya ekspresi identitas dan kebudayaan puak-puak Melayu di nusantara, terlebih lagi di dunia, membuat perspektif lama yang menganggap bahwa orang Melayu harus beragama Islam, beradat dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sudah saatnya dikoreksi. Sebab, Melayu sebagai sebuah identitas kultural sejatinya tidak dapat direduksi berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.

Jika merujuk pada dua alasan di atas, setidaknya ada tiga implikasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat identitas Melayu secara baru. Pertama, lantaran hampir semua suku bangsa yang tinggal di nusantara adalah keturunan orang-orang Yunan dari tanah Tiongkok, yang selanjutnya disebut sebagai orang Melayu, maka sebagian besar penduduk Indonesia saat ini dengan sendirinya juga dapat disebut sebagai orang Melayu. Kedua, setelah orang-orang Melayu ini menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan membentuk adat-istiadatnya masing-masing, maka menghubungkan Melayu hanya dengan suku, adat, wilayah, dan (bahkan) agama tertentu adalah tindakan yang ahistoris.

Ketiga, seiring dengan laju globalisasi yang kian pesat, banyak orang-orang Melayu diaspora yang tinggal di kawasan dan mengadopsi identitas kultural non-Melayu. Bahkan, dalam konteks tertentu, mereka telah tercerabut dari akar budaya Melayu-nya dan memilih untuk mengadopsi identitas yang lebih kosmopolit –identitas universal yang berusaha melampaui asal-usul.

Bertolak dari implikasi di atas, dan tentu dengan sekian keterbatasan, saya mencoba menawarkan sebuah identitas Melayu secara lebih holistik. Holistik dalam konteks ini tidak berkonotasi pada sebuah pengandaian yang mengatasi segala bentuk perbedaan. Justru sebaliknya, perspektif holistik yang saya tawarkan adalah afirmasi terhadap perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan suku, agama, adat, budaya, juga kewarganegaraan, bukanlah kendala untuk menciptakan persaudaraan antara puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Identitas Melayu baru adalah pengandaian yang dibuat berdasarkan kesadaran betapa multikulturalisme adalah fakta sosial yang tidak dapat ditampik. Identitas Melayu baru ibarat rumah yang menyediakan ruang tanpa batas untuk berbagi ekspresi bagi puak-puak Melayu di seluruh penjuru dunia. Identitas Melayu baru adalah ‘medan kontestasi‘ bagi siapapun yang merasa dan menganggap dirinya sebagai puak Melayu. Perbedaan, ketegangan, ataupun pola-pola transformasi yang berhubungan dengan pembentukan identitas kemelayuan, tidak dianggap sebagai bibit-bibit persengketaan, melainkan modal kultural yang berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan dialog kultural yang dilandasi semangat saling memahami dan toleransi.

_______________________________

Sumber : Koran Tempo Minggu 3 Agustus 2008
Mahyudin Al Mudra adalah Pendiri dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu

Jumat, 28 November 2008

DODOI

Orang Melayu selalu mengidamkan anaknya menjadi ‘orang’, dalam pengertian menjadi orang yang berhasil, baik lahir maupun batin. Oleh sebab itu, mereka sangat memperhatikan pendidikan anak-anak sejak dini. Berbagai cara mereka gunakan sebagai media unutk menyampaikan ajaran agama dan adat resam, dengan harapan, ajaran agama dan adat resam tersebut tertanam dalam di sanubari anak-anak mereka. Salah satu media yang digunakan para orang tua adalah lagu dodoi. Kalau kita pergi jalan-jalan ke desa-desa Melayu, masih sering terdengar seorang ibu bersenandung menidurkan anaknya dalam buaian atau gendongan. Lirik lagu-lagu dodoi tersebut biasanya berisi ajaran moral dan nasihat. Maka, melalui senandung lagu dodoi tersebut, seorang ibu bisa melakukan dua hal sekaligus: menidurkan anak, dan pada saat yang sama mengajari anaknya nilai-nilai moral dan agama. Berikut ini beberapa contoh lagu-lagu dodoi yang sering disenandungkan oleh seorang ibu ketika menidurkan anaknya; seorang nenek ketika menidurkan cucunya; ataupun seorang kakak ketika menidurkan adiknya:

“Ya Allah Malikul Rahman
Anakku ini berilah iman
Amal ibadat minta kuatkan
Setan iblis minta jauhkan”

“Dari kecil cencilak padi
Sesudah besar cencilak padang
Darilah kecil duduk mengaji
Sesudah besar tegak sembahyang”

“Pucuk dedap selera dedap
Sudah bertangkai setapak jari
Duduklah anak membaca kitab
Sesudah pandai tegak berdiri”

“Apa berdebuk seberang pekan
Buli-buli yang kena jerat
Buah yang mabuk jangan dimakan
Batang berduri usah dipanjat”

“Jangan suka mematahkan parang
Tangan luka gagangnya rusak
Jangan suka menyusahkan orang
Tuhan murka orang pun muak”

“Mencabut tebu tidaklah mudah
Banyak sekali duri lalangnya
Menuntut ilmu tidaklah mudah
Bayak sekali aral halangnya”

“Petang Jumat memukul bedug
Sesudah azan orang pun qamat
Peganglah amanat elok-elok
Supaya badan hidup selamat”

“Jong-jong inai
Mak Ipung rajawali
Tersepak tunggul inai
Berdarah ibu kaki”

“Pok amai-amai
Belalang kupu-kupu
Tepuk adek pandai
Kalau malam minum susu
Susu lemak manis
Santan kelapa muda
Adik jangan menangis
Emak ayah pergi kerja”

“Emak gali kunyit
Kawan gali rebung
Banyak dapat duit
Simpan dalam tabung

Berikut sebuah contoh lagu dodoi yang lain:

DODOI SI DODOI
Buah hatiku junjungan jiwa (2x)
Tidur-tidurlah ya anak
Ibu dodoikan ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....

Reff.
Janganlah anak suka menangis (2x)
Ayahmu jauh ya anak
Di rantau orang ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....

Tidurlah anak dalam ayunan (2x)
Tidurlah nyenyak ya anak
Sambil kubuai ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....

Sumber:
Tenas Effendy. 2004. Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Majelis Peperiksaan Malaysia. Mutiara Sastra Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: 2005

Senin, 24 November 2008

TENTANG ALAM

Pepatah adat menyebutkan: "Menyimak alam, mengkaji diri" Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali dengan penelitian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia). Melalui kajian inilah dibuat rancangan yang diharapkan dapat memenuhi harapan semua pihak. Orangtua-tua mengakatan: "menyimak alam luar dan dalam, mengkaji diri untuk mengukur kemampuan sendiri"; atau dikatakan: "mengkaji alam dengan mendalam, diri diukur dengan jujur".

Nilai di atas memberi peluang terjalinnya hubungan kerjasama dengan berbagai pihak yang dianggap ahli dan berkemampuan, termasuk pemodal luar sepanjang tidak merugikan masyarakat dan menjatuhkan harkat, martabat, tuah dan marwahnya. Orangtua-tua mengatakan: bila tidak mampu, cari yang mampu; bila tidak pandai, cari yang pandai; bila tidak tahu, cari yang tahu; atau dikatakan: untuk membangun yang berfaedah, jangan malu merendah (maksudnya, untuk mewujudkan pembangunan, jangan malu-malu menggunakan tenaga luar yang dianggap patut dan layak). Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa memaksakan diri bila benar-benar tidak memiliki daya dan kemampuan.

Perhatian orang Melayu terhadap alam sekitarnya sangat tinggi. Orang Melayu selalu menjaga keseimbangan dan harmonisasi alam tersebut, sehingga alam merupakan bagian dari tata kehidupan mereka. Seperti dalam ungkapan berikut:
kalau terpelihara alam lingkungan,
banyak manfaat dapat dirasakan:

ada kayu untuk beramu
ada tumbuhan untuk ramuan
ada hewan untuk buruan
ada getah membawa faedah
ada buah membawa berkah
ada rotan penambah penghasilan

Membangun jangan merusak, membina jangan menyalah. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya. Agama dan budaya hendaklah dijadikan œroh, teraju, pucuk jala pumpunan ikan dalam merancang pembangunan. Karenanya, para perancang dan pelaksana pembangunan haruslah memahami seluk beluk agama dan budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya, agar pembangunan itu benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Orangtua-tua mengingatkan: bila membangun tidak senonoh, hasil tak ada masyarakat bergaduh; atau dikatakan: apabila membina tidak semenggah, lambat laun menjadi musibah. Ungkapan adat menegaskan: adat membangun negeri, jangan lupakan diri; adat membangun desa, jangan lupakan agama; adat membangun masyarakat, jangan tinggalkan adat. Ungkapan lain mengatakan: dalam melaksanakan pembangunan, agama dimuliakan, budaya diutamakan, adat dikekalkan. Selanjutnya dikatakan: apabila agama tidak dipakai, alamat masyarakat akan meragai (sengsara dunia akhirat); apabila budaya tidak dipandang, alamat negeri ditimpa malang; apabila adat tidak diingat, lambat laun sengsaralah umat. Ungkapan adat juga mengatakan: apabila pembangunan hendakkan berkah, agama jangan dipermudah; apabila membina hendak bermanfaat, jangan sekali meninggalkan adat. Ungkapan yang lain menjelaskan:
apabila alam sudah binasa,
balak turun celaka tiba
hidup melarat terlunta-lunta
pergi ke laut malang menimpa
pergi ke darat miskin dan papa

apabila alam menjadi rusak,
turun temurun hidup kan kemak
pergi ke laut di telan ombak
pergi ke darat kepala tersundak
hidup susah dada pun sesak
periuk terjerang nasi tak masak

siapa suka merusak alam,
akalnya busuk hatinya lebam
siapa suka membinasakan alam,
akal menyalah hati pun hitam

siapa suka merusak lingkungan,
tanda hatinya sudah menyetan

Sumber:
Tenas Effendy, Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah, (BKPBM, Yogyakarta, 2005).