Sabtu, 29 November 2008

MERETAS IDENTITAS MELAYU BARU

Oleh : Mahyudin Al-Mudra
Pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu mesti beragama Islam, berbahasa dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sepertinya sudah tidak kontekstual dan memadai lagi, terlebih lagi di era globalisasi dan multikultural seperti sekarang ini.

Setidaknya ada dua alasan utama mengapa proposisi di atas diajukan. Pertama, mempertimbangkan fakta sejarah tentang migrasi orang-orang Melayu dari Teluk Tonkin (wilayah Yunan), Tiongkok Barat Daya, menuju nusantara yang berlangsung melalui dua gelombang. Gelombang pertama berlangsung sekitar 5000-1500 tahun SM. Gelombang migrasi pertama orang-orang Melayu ini, atau yang disebut sebagai Melayu Tua (Proto Melayu), kemudian melahirkan keturunan-keturunan seperti Suku Batak, Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Nias di Sumatra, juga Suku Dayak di Kalimantan. Gelombang kedua, yang selanjutnya disebut sebagai Melayu Muda (Deutro Melayu), berlangsung sekitar 200-300 tahun SM. Disebabkan oleh penguasaan teknologi yang lebih baik, kehadiran orang-orang Melayu Muda ini selanjutnya membuat para pendahulunya terdesak karena kalah bersaing, sehingga orang-orang Melayu Tua terpaksa menyingkir ke kawasan-kawasan pedalaman. Karena posisinya yang lebih dominan, orang-orang Melayu Muda juga dengan leluasa menyebar ke seluruh penjuru nusantara untuk mengembangkan pemukiman baru. Dari keturunan mereka inilah kelak lahir suku-suku seperti Jawa, Bali, Bugis, Makasar, dan suku-suku berbahasa Minangkabau (Yuanzi, 2005: 3-4).

Jika merujuk pada pendapat di atas, bisa dipastikan bahwa sebagian besar penduduk nusantara saat ini adalah tergolong rumpun Melayu (atau ras Mongoloid), kecuali sebagian besar penduduk asli di bumi Papua (ras Negrito) dan Suku Badui di Jawa Barat, serta Suku Toala di Sulawesi, yang tergolong ras Wedda. Mengenai dua suku yang disebut terakhir, memang masih debatable. Sebagian ahli menyebut mereka termasuk rumpun Melayu Tua, karena bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan sebagian besar orang Melayu, sedang yang lain menganggap tidak –karena mereka telah eksis jauh sebelum terjadi migrasi gelombang pertama orang-orang Yunan ke nusantara.

Kedua, mengkerutnya dimensi ruang-waktu akibat penetrasi globalisasi. Sebagai sebuah tren global, globalisasi telah menyediakan infrastruktur kebudayaan yang memungkinkan orang bergerak secara lebih leluasa, berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, melakukan kawin campur dengan ras lain, atau mengadopsi identitas dan budaya orang lain. Fenomena ini juga tidak bisa dihindari oleh orang-orang Melayu, sehingga bukan bukan hal yang aneh ketika saat ini kita menjumpai banyak orang Melayu tidak lagi tinggal di kawasan Melayu dan tidak lagi mempraktekkan tradisi dan budaya Melayu.

Berangkat dari dua alasan di atas, sebuah identitas baru bagi puak-puak Melayu cukup urgen untuk diwacanakan. Namun, tulisan ini tidak bermaksud menyuarkan kembali identitas romantik kemelayuan yang bernuansa eksklusif, sebagaimana tercermin dalam gagasan Melayu Raya dalam sistem Pan-Malaysianisme yang diwacanakan oleh Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an. Tulisan ini hendak menawarkan yang sebaliknya --berusaha mengafirmasi keragaman ekspresi berbudaya puak-puak Melayu di nusantara (bahkan dunia) –yang dalam konteks tertentu telah mengalami transformasi cukup massif akibat kehidupan dunia yang senantiasa berubah.



Ragam ekspresi

Meskipun secara historis suku-suku yang tinggal di nusantara dapat dianggap berasal dari nenek moyang yang sama, namun tersebab faktor-faktor tertentu mereka akhirnya membangun identitas kebudayaan yang berbeda-beda. Sama halnya dengan orang-orang Eropa, yang konon juga berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu suku-suku bar-bar yang tinggal di kawasan –yang sekarang ini lebih dikenal sebagai Skandinavia.

Jika keragaman ekspresi kebudayaan nusantara direntang dari Sabang sampai Merauke, bisa dipastikan tak ada negara manapun di dunia ini yang memiliki tingkat keragaman budaya melebihi Indonesia. Terdapat ratusan, bahkan ribuan adat istiadat yang terbabar mulai dari tata cara perkawinan, tarian adat, pakaian adat, cara bercocok tanam, cara menyambut tamu, pembagian warisan, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketika hal-hal yang lebih abstrak juga dibandingan –misalnya saja tentang pandangan hidup –akan dijumpai betapa negeri kepulauan yang bernama Indonesia ini dihuni oleh ratusan kelompok etnik dengan berbagai macam konsep kosmologi dan sistem religi.

Bahkan, setelah “agama impor” (Hindu, Budha, Kristen, Islam) datang dan mulai menancapkan pengaruhnya di Indonesia, karakter universalnya tetap saja tak mampu menghapus keragaman adat-istiadat yang berkembang di nusantara. Dalam konteks tertentu, justru agama-agama tersebut yang dipaksa harus berdamai dengan adat-istiadat lokal. Sekedar contoh, sebut saja Islam Wetutelu yang berkembang di Lombok, Islam Kejawen, Islam Suku Talang Mamak, Islam Suku Kajang, atau agama adat Batak dengan konsep Debata na tolu-nya, yang dipengaruhi ajaran tri-murti agama Hindu.

Mendefinisikan identitas kemelayuan di tengah fakta sosial yang menyuguhkan keragaman ekspresi kebudayaan memang bukan persoalan mudah. Namun, hal inilah yang justru menjadi tantangan tersendiri. Selagi ihktiar tetap diniatkan di atas prinsip toleransi dan saling menghormati, keragaman budaya bukanlah kutukan, melainkan berkah sosial yang tak ternilai harganya.



Perspektif holistik-integratif

Melihat betapa beragamnya ekspresi identitas dan kebudayaan puak-puak Melayu di nusantara, terlebih lagi di dunia, membuat perspektif lama yang menganggap bahwa orang Melayu harus beragama Islam, beradat dan berbudaya Melayu, dan berdomisili di kawasan Melayu, sudah saatnya dikoreksi. Sebab, Melayu sebagai sebuah identitas kultural sejatinya tidak dapat direduksi berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.

Jika merujuk pada dua alasan di atas, setidaknya ada tiga implikasi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat identitas Melayu secara baru. Pertama, lantaran hampir semua suku bangsa yang tinggal di nusantara adalah keturunan orang-orang Yunan dari tanah Tiongkok, yang selanjutnya disebut sebagai orang Melayu, maka sebagian besar penduduk Indonesia saat ini dengan sendirinya juga dapat disebut sebagai orang Melayu. Kedua, setelah orang-orang Melayu ini menyebar ke seluruh penjuru nusantara dan membentuk adat-istiadatnya masing-masing, maka menghubungkan Melayu hanya dengan suku, adat, wilayah, dan (bahkan) agama tertentu adalah tindakan yang ahistoris.

Ketiga, seiring dengan laju globalisasi yang kian pesat, banyak orang-orang Melayu diaspora yang tinggal di kawasan dan mengadopsi identitas kultural non-Melayu. Bahkan, dalam konteks tertentu, mereka telah tercerabut dari akar budaya Melayu-nya dan memilih untuk mengadopsi identitas yang lebih kosmopolit –identitas universal yang berusaha melampaui asal-usul.

Bertolak dari implikasi di atas, dan tentu dengan sekian keterbatasan, saya mencoba menawarkan sebuah identitas Melayu secara lebih holistik. Holistik dalam konteks ini tidak berkonotasi pada sebuah pengandaian yang mengatasi segala bentuk perbedaan. Justru sebaliknya, perspektif holistik yang saya tawarkan adalah afirmasi terhadap perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan suku, agama, adat, budaya, juga kewarganegaraan, bukanlah kendala untuk menciptakan persaudaraan antara puak-puak Melayu yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Identitas Melayu baru adalah pengandaian yang dibuat berdasarkan kesadaran betapa multikulturalisme adalah fakta sosial yang tidak dapat ditampik. Identitas Melayu baru ibarat rumah yang menyediakan ruang tanpa batas untuk berbagi ekspresi bagi puak-puak Melayu di seluruh penjuru dunia. Identitas Melayu baru adalah ‘medan kontestasi‘ bagi siapapun yang merasa dan menganggap dirinya sebagai puak Melayu. Perbedaan, ketegangan, ataupun pola-pola transformasi yang berhubungan dengan pembentukan identitas kemelayuan, tidak dianggap sebagai bibit-bibit persengketaan, melainkan modal kultural yang berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan dialog kultural yang dilandasi semangat saling memahami dan toleransi.

_______________________________

Sumber : Koran Tempo Minggu 3 Agustus 2008
Mahyudin Al Mudra adalah Pendiri dan Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu

Jumat, 28 November 2008

DODOI

Orang Melayu selalu mengidamkan anaknya menjadi ‘orang’, dalam pengertian menjadi orang yang berhasil, baik lahir maupun batin. Oleh sebab itu, mereka sangat memperhatikan pendidikan anak-anak sejak dini. Berbagai cara mereka gunakan sebagai media unutk menyampaikan ajaran agama dan adat resam, dengan harapan, ajaran agama dan adat resam tersebut tertanam dalam di sanubari anak-anak mereka. Salah satu media yang digunakan para orang tua adalah lagu dodoi. Kalau kita pergi jalan-jalan ke desa-desa Melayu, masih sering terdengar seorang ibu bersenandung menidurkan anaknya dalam buaian atau gendongan. Lirik lagu-lagu dodoi tersebut biasanya berisi ajaran moral dan nasihat. Maka, melalui senandung lagu dodoi tersebut, seorang ibu bisa melakukan dua hal sekaligus: menidurkan anak, dan pada saat yang sama mengajari anaknya nilai-nilai moral dan agama. Berikut ini beberapa contoh lagu-lagu dodoi yang sering disenandungkan oleh seorang ibu ketika menidurkan anaknya; seorang nenek ketika menidurkan cucunya; ataupun seorang kakak ketika menidurkan adiknya:

“Ya Allah Malikul Rahman
Anakku ini berilah iman
Amal ibadat minta kuatkan
Setan iblis minta jauhkan”

“Dari kecil cencilak padi
Sesudah besar cencilak padang
Darilah kecil duduk mengaji
Sesudah besar tegak sembahyang”

“Pucuk dedap selera dedap
Sudah bertangkai setapak jari
Duduklah anak membaca kitab
Sesudah pandai tegak berdiri”

“Apa berdebuk seberang pekan
Buli-buli yang kena jerat
Buah yang mabuk jangan dimakan
Batang berduri usah dipanjat”

“Jangan suka mematahkan parang
Tangan luka gagangnya rusak
Jangan suka menyusahkan orang
Tuhan murka orang pun muak”

“Mencabut tebu tidaklah mudah
Banyak sekali duri lalangnya
Menuntut ilmu tidaklah mudah
Bayak sekali aral halangnya”

“Petang Jumat memukul bedug
Sesudah azan orang pun qamat
Peganglah amanat elok-elok
Supaya badan hidup selamat”

“Jong-jong inai
Mak Ipung rajawali
Tersepak tunggul inai
Berdarah ibu kaki”

“Pok amai-amai
Belalang kupu-kupu
Tepuk adek pandai
Kalau malam minum susu
Susu lemak manis
Santan kelapa muda
Adik jangan menangis
Emak ayah pergi kerja”

“Emak gali kunyit
Kawan gali rebung
Banyak dapat duit
Simpan dalam tabung

Berikut sebuah contoh lagu dodoi yang lain:

DODOI SI DODOI
Buah hatiku junjungan jiwa (2x)
Tidur-tidurlah ya anak
Ibu dodoikan ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....

Reff.
Janganlah anak suka menangis (2x)
Ayahmu jauh ya anak
Di rantau orang ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....

Tidurlah anak dalam ayunan (2x)
Tidurlah nyenyak ya anak
Sambil kubuai ya sayang
Dodoi si dodoi...aaaa
Dodoi si dodoi....

Sumber:
Tenas Effendy. 2004. Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Majelis Peperiksaan Malaysia. Mutiara Sastra Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: 2005

Senin, 24 November 2008

TENTANG ALAM

Pepatah adat menyebutkan: "Menyimak alam, mengkaji diri" Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali dengan penelitian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia). Melalui kajian inilah dibuat rancangan yang diharapkan dapat memenuhi harapan semua pihak. Orangtua-tua mengakatan: "menyimak alam luar dan dalam, mengkaji diri untuk mengukur kemampuan sendiri"; atau dikatakan: "mengkaji alam dengan mendalam, diri diukur dengan jujur".

Nilai di atas memberi peluang terjalinnya hubungan kerjasama dengan berbagai pihak yang dianggap ahli dan berkemampuan, termasuk pemodal luar sepanjang tidak merugikan masyarakat dan menjatuhkan harkat, martabat, tuah dan marwahnya. Orangtua-tua mengatakan: bila tidak mampu, cari yang mampu; bila tidak pandai, cari yang pandai; bila tidak tahu, cari yang tahu; atau dikatakan: untuk membangun yang berfaedah, jangan malu merendah (maksudnya, untuk mewujudkan pembangunan, jangan malu-malu menggunakan tenaga luar yang dianggap patut dan layak). Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa memaksakan diri bila benar-benar tidak memiliki daya dan kemampuan.

Perhatian orang Melayu terhadap alam sekitarnya sangat tinggi. Orang Melayu selalu menjaga keseimbangan dan harmonisasi alam tersebut, sehingga alam merupakan bagian dari tata kehidupan mereka. Seperti dalam ungkapan berikut:
kalau terpelihara alam lingkungan,
banyak manfaat dapat dirasakan:

ada kayu untuk beramu
ada tumbuhan untuk ramuan
ada hewan untuk buruan
ada getah membawa faedah
ada buah membawa berkah
ada rotan penambah penghasilan

Membangun jangan merusak, membina jangan menyalah. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya. Agama dan budaya hendaklah dijadikan œroh, teraju, pucuk jala pumpunan ikan dalam merancang pembangunan. Karenanya, para perancang dan pelaksana pembangunan haruslah memahami seluk beluk agama dan budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya, agar pembangunan itu benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Orangtua-tua mengingatkan: bila membangun tidak senonoh, hasil tak ada masyarakat bergaduh; atau dikatakan: apabila membina tidak semenggah, lambat laun menjadi musibah. Ungkapan adat menegaskan: adat membangun negeri, jangan lupakan diri; adat membangun desa, jangan lupakan agama; adat membangun masyarakat, jangan tinggalkan adat. Ungkapan lain mengatakan: dalam melaksanakan pembangunan, agama dimuliakan, budaya diutamakan, adat dikekalkan. Selanjutnya dikatakan: apabila agama tidak dipakai, alamat masyarakat akan meragai (sengsara dunia akhirat); apabila budaya tidak dipandang, alamat negeri ditimpa malang; apabila adat tidak diingat, lambat laun sengsaralah umat. Ungkapan adat juga mengatakan: apabila pembangunan hendakkan berkah, agama jangan dipermudah; apabila membina hendak bermanfaat, jangan sekali meninggalkan adat. Ungkapan yang lain menjelaskan:
apabila alam sudah binasa,
balak turun celaka tiba
hidup melarat terlunta-lunta
pergi ke laut malang menimpa
pergi ke darat miskin dan papa

apabila alam menjadi rusak,
turun temurun hidup kan kemak
pergi ke laut di telan ombak
pergi ke darat kepala tersundak
hidup susah dada pun sesak
periuk terjerang nasi tak masak

siapa suka merusak alam,
akalnya busuk hatinya lebam
siapa suka membinasakan alam,
akal menyalah hati pun hitam

siapa suka merusak lingkungan,
tanda hatinya sudah menyetan

Sumber:
Tenas Effendy, Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah, (BKPBM, Yogyakarta, 2005).

Rabu, 29 Oktober 2008

PANTUN BUDI

Pantun bisa dikonsepsikan sebagai satu pengucapan kemelayuan yang terkandung di dalamnya seluruh kebijaksanaan, jiwa, seni, budi bahasa dan pandangan Melayu.

Pengertian budi kepada orang Melayu meliputi suatu ruang yang amat luas bagi menyatakan unsur-unsur kebaikan dan kehalusan mengikut nilai-nilai yang dipupuknya. Nilai budi lahir dari akal pemikiran, hati dan perasaan yang menginginkan sesuatu kebaikan dari seseorang

Masyarakat Melayu menganggap orang yang banyak berbudi akan dikenang sampai mati. Budi tidak hanya tertumpu pada budi pekerti saja , namun juga mencakup budi bicara atau bahasa dan hati budi atau akal budi.

Dalam pantun budi terkandung nasihat dan pengajaran kepada manusia agar hidup berbudi dan mengamalkan nilai-nilai murni dalam hidup

Hingga kini, pantun budi masih digunakan untuk mengapresiasi mereka yang banyak berbudi kepada masyarakat.

berikut adalah contoh dari beberapa pantun budi yang pernah ada :

Buah nanas dibawa belayar,
Dimakan sebiji di Tanjung Jati;
Hutang emas boleh dibayar,
Hutang budi dibawa mati

Yang kurik hanya kundi,
Yang merah hanya saga;
Yang baik itu budi,
Yang indah hanya bahasa

Tegak rumah kerana sendi,
Runtuh sendi rumah binasa;
Tegak bangsa kerana budi,
Runtuh budi hilanglah bangsa

Cahaya redup menyegar pagi,
Ayam berkokok mengikut tuah;
Jikalau hidup tidak berbudi,
Umpama pokok tidak berbuah

Bunga Cina di atas batu,
Jatuh daunnya ke dalam ruang;
Adat dunia memang begitu,
Sebab emas budi terbuang

Buah cempedak di hutan duri,
Jatuh sebiji dimakan ulat;
Jikalau tidak bahasa dan budi,
Apa guna kaya berdaulat

sumber : dari email teman

Kejayaan dan Keistimewaan Melayu

DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara dari Cina.

Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.

Menurut catatan sejarah, Raja Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.

Laksamana Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.

Tak sampai di situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia. Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.

Inilah cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu, bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata, tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.

Jika sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa.

Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam' (1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).

Semua ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima ilmu yang dapat memajukan mereka.

Kemunculan kaum intelektual, cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir Melayu.

Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…

sumber : http://melayuiin.blogspot.com/

SENJATA TRADISIONAL MELAYU


Senjata tradisional amat berkait rapat dengan sejarah Melayu yang diwarisi oleh orang Melayu sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka lagi. Persejarahan senjata di Malaysia amat rapat dengan unsur-unsur seni mempertahankan diri seperti silat. Keterampilan rekacipta Pandai Besi maka kepelbagaian alat persenjataan telah terhasil, antara yang amat digemari sehingga kini seperti keris, parang, kelewang, beladau, tombak dan banyak lagi.

Peranan senjata amatlah penting dalam naluri hidup manusia, selain dari digunakan sebagai alat berperang atau mempertahankan diri serta hiasan ianya juga dikaitkan dengan unsur-unsur alam ghaib. Sesetengah mereka mempercayai sesuatu senjata itu mempunyai kuasa dalaman yang dapat membantu mempertingkatkan ilmu kebatinan kepada si pemiliknya.

Kelok-kelok yang dibentuk pada senjata melambangkan nilai-nilai estetika yang tersendiri dalam menggambarkan daya imaginasi kemelayuan sejak zaman-berzaman dengan teliti dan kreatif. Dengan pelbagai bentuk senjata tradisional yang kebanyakkannya berasal-usul dari luar yang diwarisi oleh nenek moyang mereka juga melambangkan ketinggian daya pemikiran dalam mengungkapkan segala makna yang tersurat dan tersirat.

Pada kebanyakan senjata seperti keris, lawi ayam, tumbuk lada, kelewang serta beberapa rumpunan yang serupa dengannya akan dihiasi dengan hulu yang diukir indah serta diberikan nama-nama tertentu seperti Jawa Demam, Kepala Nuri, Anak Ayam Teleng dan lain-lain. Tidak ketinggalan juga dengan sarung atau rangka yang kebiasaannya diperbuat dari kayu yang baik seperti teras nangka, tempinis, kayu kemuning, raja kayu dan sebagainya.

sumber : http://malaysiana.pnm.my/

Senin, 29 September 2008

Menduniakan Melayu dari Yogya

dari harian KOMPAS, 8 Agustus 2008

Kalau jatuh kota Melaka
Papan di Jawa kami tegakkan


Bidal yang berisi semangat untuk terus memperjuangkan keberadaan puak Melayu itu terus terngiang begitu kaki memasuki halaman rumah di Jalan Gambiran No 85 A, Yogyakarta. Muncul-melesap, berselang-seling dengan pekik Hang Tuah yang melintas di benak: Tak Melayu hilang di Bumi!

Di depan, Dick van der Meij berjalan gontai memasuki beranda rumah berarsitektur melayu modern tersebut. Ahli epigrafi dari Belanda yang mengkhususkan diri pada kajian tentang Melayu-Islam itu sempat terpana, kagum, melihat ragam hias ”itik pulang petang” terukir indah di teralis jendela.

Melewati pintu yang ”daun”- nya bergagang replika keris melayu, Dick disambut sang pemilik rumah, Mahyudin Al Mudra (50). Di sanalah, di rumah berarsitektur melayu—yang sejak dua tahun terakhir difungsikan sebagai kantor redaksi MelayuOnline.com—itu sebuah gagasan untuk menggelorakan semangat kemelayuan diwujudkan melalui ”gerakan” di dunia maya.

”MelayuOnline.com didedikasikan sepenuhnya bagi kegemilangan tamadun Melayu. Beruntung saya ditopang oleh teman-teman muda yang berhasil saya provokasi untuk mewakafkan waktunya demi perjuangan mengekalkan khazanah budaya Melayu,” kata Mahyudin, pendiri sekaligus pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

Di bawah naungan BKPBM, situs atau laman yang tampil dengan motto ”Melestarikan Tradisi dengan Cara yang Tidak Tradisional” ini dimaksudkan sebagai upaya merajut peradaban Melayu yang sudah mulai kehilangan marwah kemelayuannya. Melayu yang humanis, pluralis, dan egaliter, misalnya, dirasa perlu diaktualkan di tengah gemerlap peradaban materialistis saat ini.

Akan tetapi, MelayuOnline.com tidak berdiri pada tataran praksis. Taruhlah seperti ikut menggelar festival dan sejenisnya. Kehadiran MelayuOnline.com lebih diorientasikan pada apa yang disebut Mahyudin sebagai proses akademisasi Melayu. Artinya, Melayu dijadikan sebuah obyek kajian yang tidak pernah final.
”Dan memang, setelah kami gali dari berbagai sumber, tradisi besar Melayu dengan segala pernak-perniknya itu bagai sumur tanpa dasar. Selalu ada hal baru yang sebelumnya tidak kami ketahui tentang Melayu,” kata Mahyudin dalam kesempatan berbincang dengan Kompas di Gambiran 85 A, Yogyakarta. (Baca juga: Mahyudin ”Gila” karena Keris Melayu, hal 16).

Terbesar dan terlengkap
Sejak diluncurkan di Yogyakarta pada 1 Muharam 1428 Hijriah, bertepatan dengan 20 Januari 2007, laman tentang khazanah Melayu yang beralamat di http://www.melayuonline.com itu sudah disimak 4,5 juta (data hingga 7 Agustus 2008) pengunjung dari 104 negara. Mereka itu di antaranya datang dari sebuah negeri kecil di Afrika yang jarang terdengar di kancah pergaulan antarbangsa: Republic of Seychelles.

”Dari e-mail yang dia kirimkan kemudian, pengunjung MelayuOnline.com dari Republic of Seychelles itu ternyata orang Melayu juga. Dia ’terdampar’ ke MelayuOnline.com setelah berselancar di jagat maya mau mencari resep masakan Melayu,” ujar Yuhastina Sinaro dari Humas MelayuOnline.com.

Inilah pangkalan data tentang Melayu paling besar dan terlengkap di dunia. Terdiri atas 24 menu utama, mulai dari berita dan artikel yang terkait dunia Melayu hingga sejarah dan budaya serta hal-hal lain yang berkelindan dengan Melayu dan kemelayuan. Termasuk juga aspek kuliner, wisata budaya, serta perpustakaan berupa data koleksi BKPBM dan informasi buku-buku tentang Melayu koleksi perpustakaan-perpustakaan terkemuka di dunia.

Terhampar pada laman berbahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis hingga lebih dari 75.000 halaman (setiap hari jumlah ini terus bertambah), pangkalan data disusun ke dalam struktur yang sistematis, integratif, dan komprehensif.
Menurut Mahyudin, penyusunan struktur yang demikian dimaksudkan untuk memudahkan orang yang ingin mengetahui dan memahami budaya Melayu, baik secara ringkas-sepintas maupun serius-mendalam. Meski hak patennya sudah didaftarkan, siapa pun boleh menggunakan pangkalan data ini untuk berbagai keperluan, termasuk untuk penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi.
”Tentu saja harus mencantumkan MelayuOnline.com sebagai sumber yang dikutip,” ujarnya.

Guna memenuhi cita-cita besar menjadikan MelayuOnline.com sebagai pangkalan data acuan tentang Melayu dan kemelayuan, saat ini ada 24 tenaga profesional yang mendukung beroperasinya laman ini. Sebagian besar bergelar master (S-2), terutama dari bidang sosiologi dan antropologi budaya.

”Terus terang, saya terharu mereka mau mewakafkan waktu dan ilmu untuk MelayuOnline.com. Padahal, beberapa di antara mereka punya pengalaman (baca: sekolah) di luar negeri dan bisa memilih bekerja sebagai dosen, misalnya. Tapi mereka mau ke sini dengan gaji yang sangat minimal. Sungguh, saya terhibur dan termotivasi oleh semangat anak-anak muda ini,” kata Mahyudin.
Pendekatan kultur

Melayu sebagai sebuah entitas budaya dalam arti luas memiliki sejarah panjang. Selama ini Melayu cenderung dimaknai secara sempit dan kerap dipahami melalui perspektif tertentu. Tidak heran bila pengertian tentang Melayu bersifat parsial, tidak menyeluruh, bahkan memunculkan varian istilah yang memecah-belah orang Melayu sebagai entitas budaya yang multikultur.

Kawasan Nusantara sebagai basis orang-orang Melayu yang dulu setidaknya mencakup wilayah Indonesia, Malaysia (tentu saja termasuk Singapura), Brunei Darussalam, Filipina—juga Madagaskar—tercerai-berai, terutama sejak kehadiran pemerintahan kolonial. Istilah Melayu-Malaysia, Melayu-Indonesia, Melayu-Singapura, atau Melayu-Brunei muncul sebagai sekat penanda keterbelahan itu.
Di Indonesia sendiri dikenal berbagai macam puak yang sama-sama bercirikan kemelayuan, tetapi dalam sebutan berbeda, macam Melayu-Riau, Melayu-Deli, Melayu-Palembang, atau Melayu-Banjar. Jawa, Sunda, Madura ataupun Bali—sekadar menyebut beberapa wilayah—yang sejatinya juga adalah Melayu justru dari hari ke hari kian ”terasing” warna kemelayuannya.

Label-label baru dilekatkan. Melayu pun direduksi menjadi sekadar etnisitas: ras dan suku bangsa. Bahkan, belakangan, juga ada yang menambahkan label keislaman sebagai salah satu aspek kemelayuan.
”Padahal, jika merunut ke belakang, taruhlah sejak era proto-Melayu yang hadir jauh sebelum fajar sejarah muncul di Nusantara, pandangan semacam ini lemah argumentasinya,” ujar Mahyudin.
Apalagi, tambahnya, secara ontologis kemelayuan dan keislaman merupakan dua dimensi yang berbeda. Etnik Melayu merupakan kumpulan individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Adapun Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Jika yang pertama menciptakan hubungan horizontal, yang kedua bersifat vertikal.
Berangkat dari kesadaran ini, melalui paradigma inklusif, MelayuOnline.com ingin menempatkan Melayu secara lebih luas dan melihatnya dari berbagai dimensi. Istilah Melayu pun lebih dimaknai sebagai sebuah kultur. Bukan Melayu sebagai suku, etnis, atau entitas budaya dalam arti sempit lainnya.

Bagi Mahyudin, Melayu tidak hadir pertama-tama karena ikatan sempit berdasarkan aspek genealogis, tetapi lebih dilatari oleh suatu ikatan kultural.
”Dengan demikian, kata ’Melayu’ yang dipahami oleh MelayuOnline.com merujuk kepada setiap masyarakat penutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam budaya Melayu,” kata Mahyudin. Nah!

Sirih junjung sirih pinang
Sirih kuning diberi nama
Adat dijunjung pusaka dikenang
Hidup berbudi mufakat bersama

FALSAFAH HIDUP SUKU BANGSA MELAYU

Suku bangsa melayu itu dalam falsafah hidupnya dapat disimpulkan berlandaskan pada 5 dasar, yaitu :

1. Melayu itu Islam,
yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah.

2. Melayu itu berbudaya,
yang sifatnya nasional dalam bahsa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku, dan lain-lain.

3. Melayu itu beradat,
yang sifatnya regional (kedaerahan)dalam bhineka tunggal ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang mnegikat tua dan muda.

4. Melayu itu berturai,
yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam masyarakat.

5. Melayu itu berilmu,
artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan (agama dan mistik), agar bermarwah dan disegani orang, untuk kebaikan umum.

Rukun tertib yang dimaksudkan puak melayu adalah keadilan dan kebenaran yang harus dapat dirasa dan dilihat.
Ia mengetahui, bahwa :

ISLAM tidak bertentangan dengan masyarakat yang berperikemanusiaan dan yang ber-Tuhan.

BUDAYA tidak bertentangan dengan masyarakat yang ingin beradab dan mengingkat lahiriah dan bathiniah

ADAT tak bertentangan dengan peradaban masyarakat yang ada rasa kekeluargaan, bukan individualistis.

BERTURAI tak bertentangan dengan masyarakat yang tahu harga diri, yang ingin kebenaran, keadilan dan kemakmuran yang merata dalam kehidupan.

BERILMU tak bertentangan dengan masyarakat yang ingin maju untuk kepentingan diri dan masyarakatnya. pengabdian adalah pada Allah, manusia dan lingkungan, untuk kebahagiaan diri sekarang dan nanti.


Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.

UPACARA TEPUNG TAWAR

Telah menjadi adat kebiasaan, puak melayu memakai tepung tawar pada beberapa upacara dan kejadian-kejadian penting, umpamanya pada perkawinan, pertunangan, sunat rasul (khitan) ataupun jika seseorang kembali dengan selamat dari sesuatu perjalanan ataupun terlepas dari mara bahaya ataupun mendapat rahmat yang diluar dugaan.
Maka ditepung tawarilah yang berkepentingan dengan pengharapan ia akan tetap selamat dan bahagia hendaknya. Logat tepung tawar mulanya ialah TAMPUNG TAWAR, yaitu dalam kata “ditampung tangan untuk menerima penawar (obat)”

Tepung Tawar ini berasal dari zaman leluhur berpuluh abad yang lalu. Susunan tepung tawar yang biasa digunakan oleh masyarakat melayu dalam garis besarnya terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu :
- Ramuan Penabur
- Ramuan Rinjisan
- Pedupaan (Perasapan)
Ketiga bagian di atas dirinci pula sebagai berikut :

RAMUAN PENABUR
Di atas wadah terletak sepiring beras putih, sepiring beras kuning, sepiring bertih dan sepiring tepung beras, sebagai pelambang sebagai berikut :
- Beras putih = kesuburan
- Beras Kuning = kemuliaan, kesungguhan
- Bertih = perkembangan
- Bunga Rampai = keharuman (nama)
- Tepung beras = kebersihan hati.
- Arti keseluruhan dari bahan-bahan di atas adalah kebahagiaan

RAMUAN RINJISAN
Sebuah mangkuk putih (dulu tempurung kelapa puan) berisi air biasa, segenggam beras putih dan sebuah jeruk purut yang telah di iris-iris. Di dalam mangkuk tersebut juga diletakkan sebuah ikatan daun-daunan yang terdiri dari 7 macam daun, yaitu :
- Daun Kalinjuhang (silinjuhang)
- Tangkai pohon pepulut (sipulut) dengan daun
- Daun Gandarusa atau daun sitawar
- Daun jejerun (jerun-jerun)
- Daun sepenuh
- Daun sedingin
- Pohon sembau dengan akarnya

Ketujuh daun di atas diikat dengan akar atau benang jadi satu berkas kecil sebagai rinjisan. Adapun arti dari bahan-bahan di atas adalah sebagai berikut :

Mangkuk putih berisi air = kejernihan; beras = kesuburan; irisan-irisan jeruk purut = membersihkan.
Secara keseluruhan diartikan sebagai Keselamatan dan Kebahagiaan.

Sedangkan ketujuh macam dedaunan tersebut di atas berarti :

Daun Kalinjuhang, mempunyai sifat membangkitkan semangat yang telah lesu. Daun ini dapat diartikan sama dengan “panjang umur” dan “bertenaga”

Daun Pepulu
t, sifatnya “melengket” atau “tidak lekas lekang”. Daun ini memberi arti “Kekekalan”

Daun Gandarusa
, adalah tangkal (perisai) terhadap “kecelakaan” yang mungkin dating dari alam gaib atau tenaga gaib

Pohon Jejurun, sifatnya sukar dicabut dan sukar mati, menjadi simbol “kelanjutan hidup”.

Daun sepenuh, mengingatkan kita kepada kata “penuh” yang berarti disini “penuh rezeki”

Pohon Sedingin, ialah tanda 'ketenangan' dan 'kesehatan'.

Pohon sembau, mempunyai akar sangat liat dan sukar dicabut, mengingatkan kita pada “kekuatan dan keteguhan”

Maka ke tujuh macam tumbuhan tersebut di atas adalah “seruan” dan “doa” tanpa suara untuk kesempurnaan orang yang ditepung tawari.


PERDUPAAN

Perdupaan dengan kemenyan atau setanggi yang dibakar dapat diartikan dengan pemujaan atau doa kepada Yang Maha Kuasa agar permintaan dimaksud dapat restu atau terkanul hendaknya. Perdupaan ini sangat jarang dilakukan pada upacara tepung tawar yang ada sekarang ini.

URUTAN PENEPUNG TAWARAN
Urutan yang menepung tawari adalah dimulai dari ibu bapaknya (serentak) dan kemudian diteruskan oleh ahli keluarga yang tertua dan terdekat sampai jumlah yang telah ditentukan semula dengan ketentuan mula-mula yang menepung tawari adalah kaum laki-laki, kemudian baru giliran kaum wanita. Anak beru ataupun seseorang yang ditugasi untuk itu, mendatangi dan menjemput orang yang harus menepung tawari itu serta mempersilahkan beliau sambil mengiringkannya pula dari belakang ke tempat upacara tepung tawar.
Selesai melakukan tepung tawar, beliau diantar pula ke tempat duduknya semula dan oleh anak beru atau orang yang ditugaskan untuk itu memberikan kepada beliau sebuah “bunga telor berkat”

CARA MELAKUKAN TEPUNG TAWAR
Orang yang hendak ditepung tawari mula-mula menerima ataupun mengambil sedikit (sejumput) beras putih, beras kuning, bertih danbunga rampai, llau menaburkannya ke atas haribaan atau keliling badan orang yang ditepung tawari, kadang-kadang disertai dengan ucapan ‘selamat’, “murah rezeki”’ “sehat”’ dan sebagainya.
Kemudian diambilnya berkas ikatan daun kalinjuhang dan daun lainnya, dicecahkan ke mangkuk puith yang berisi air dan beras putih serta irisan limau purut lalu dirinjis-rinjiskannya di atas kedua belah telapaktangan orang yang ditepungtawari. Selalu juga disertai dengan kata ‘selamat’. Kemudian barulah diambil sedikit tepung beras tadi dan dioleskan (dilekatkan) ke tapak tangan yang ditanuri. Semua acara di atas dilakukan dengan khidmat. Orangtua ada juga merinjis-rinjiskan berkas ikatan tersebut ke atas ubun-ubun (kepala) anaknya ataupunkeluarga termuda. Ini sebenarnya bersifat kemanja-manjaan saja , bukan kelaziman.
Jika yang ditepung tawari lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya di dalam keluarga ataupun masyarakat dari orang yang ditepung tawari, maka orang yang ditepung tawari telebih dahulu harus minta terima kasih dan memberi hormat dengan cara mengangkat kedua belah tangannya sewaktu hendak di tepung tawari. Yang menepung tawari membalas pula dengan mengangkat kedua belah tangannya juga, sebagai menerima tanda terima kasih atau penghormatan itu.
Sebaliknya yang akan terjadi, jika yang menepungtawari lebih muda, maka dialah terlebih dahulu yang harus memberi hormat.

Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.

Selasa, 23 September 2008

URUTAN NAMA ANAK MELAYU

Kalau di Bali terdapat urutan nama anak seperti Putu, Made. Nyoman dan Ketut, maka suku Melayu juga mempunyai urutan nama anak sebagai berikut :

Anak pertama : si Ulung (Iyung, Ulong)
Anak kedua : si Ngah
Anak ketiga : si Alang
Anak keempat : si Uteh
Anak kelima : si Andak
Anak keenam : si Uda
Anak ketujuh : si Ucu (Uncu, busu, bongsu)
Anak kedelapan : si Ulung Cik ( Ulung Kecik)
Anak kesembilan : si Ngah Cik
Anak kesepuluh : si Alang Cik
Anak kesebelas : si Uteh Cik
Anak keduabelas : si Andak Cik
Anak ketigabelas : si Uda Cik
Anak keempatbelas : si Cik (si Kecil atau si Kecik)

Panggilan untuk anak laki-laki si Kolok
Panggilan untuk anak perempuan si Subang

Dikutip dari Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny.

Selasa, 09 September 2008

Penggantinya diusul T. Amir Hamzah

NAMA bandara udara baru di Kota Medan menjadi pemikiran para tokoh Melayu di Sumatera Utara, agar nama bandara pengganti Polonia sesuai kondisi daerah setempat.

Hal itu begitu penting untuk memberi sebuah arti dan membawa dampak besar bagi makhluk hidup, benda dan sebuah peradaban. Nama dapat membuka tabir, pengukuhan peradaban, penjaga harkat dan martabat.

Menurut Annex 14 dari organisasi penerbangan dunia (International Civil Aviation Organization/ICAO), bandara adalah area tertentu di daratan atau perairan termasuk bangunan, instalasi dan peralatan diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.

Indonesia mempunyai beberapa bandara berstatus internasional antara lain Polonia (Medan), Soekarno Hatta (Cengkareng), Djuanda (Surabaya), Hasanudin (Makassar).

Kota Medan merupakan salah satu pintu gerbang wilayah Sumatera. Untuk itu, dibutuhkan sarana transportasi, khususnya transportasi udara.

Perpindahan Bandara Polonia yang berada di tengah kota Medan ke Desa Beringin, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deliserdang, berada sekitar 23 km dari pusat kota Medan, bertujuan meningkatkan keselamatan penerbangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi, pariwisata serta pembangunan kota Medan pada khususnya.

Pembangunan bandara terus berlangsung meski mendapat penolakan warga menyangkut pengorekan pasir laut untuk pembangunan sisi darat. Total biaya pembangunan diperkirakan menelan Rp5 triliun dan paling cepat selesai tahun 2010.

“Untuk itu perlu dipersiapkan nama bagi bandara baru itu,” kata HT Syahrizal Arif, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Laskar Melayu Hang Tuah.

Sementara itu, T. Reza Zulkarnain, selaku Sekjen DPP Laskar Melayu Hang Tuah menilai, dasar pertimbangan usulan nama bandara baru karena bandara menduduki posisi sangat strategis bagi suatu daerah dan negara.

Fungsinya sebagai pintu gerbang menentukan kesan orang luar ketika kunjungan pertama. Kesan pertama tidak hanya ditentukan kehebatan infrastruktur dan asrinya lingkungan sebuah bandara akan tetapi terkait penamaan bandara.

Nama bandara seringkali mengusung simbol dan tata nilai. Di balik nama sebuah bandara terkandung nilai historis, penghormatan dan penghargaan.

Berjasa
Sementara itu, dasar pertimbangan dan usulan pemberian nama bandara baru di antaranya upaya pelestarian sejarah dan budaya setempat. Untuk memberikan penghargaan bagi seseorang yang berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara.

T. Reza yang juga Humas Dinas Perhubungan Sumut menilai, pada saat ini nama suatu bandara berhubungan dengan nama-nama yang memiliki hubungan emosional dalam sejarah perkembangan suatu etnis, terutama dengan nama pahlawan atau tokoh berjasa.

Misalnya, Bandara Sultan Syarif Kasim di Provinsi Riau, Bandara Sultan Taha di Provinsi Jambi dan Bandara Sultan Mahmud Badarudin II di Provinsi Sumatera Selatan.

Menurut catatan sejarah, kawasan pesisir timur Sumut merupakan negeri bagi masyarakat etnis Melayu yang meliputi Kesultanan Langkat (Kabupaten Langkat sekarang), Kesultanan Deli (Kota Medan dan sebagian Kabupaten Deliserdang).

Kesultanan Serdang (sebagian Deliserdang dan Kota Tebingtinggi). Pemerintahan suku Batubara (wilayah Kabupaten Asahan), Kesultanan Asahan (sebagian Asahan dan Kota Tanjungbalai), Kerajaan Bilah, Panai dan Kualuh (Kabupaten Labuhanbatu).

Dari aspek sosiologi, penetapan nama bandara baru Medan dengan nama pahlawan nasional dari etnis Melayu merupakan bentuk penghargaan, pengakuan pemerintah kepada masyarakat Melayu sehingga mampu memberikan motivasi guna membangun jati diri dan negerinya sendiri.

Anggaran Dasar Laskar Melayu Hang Tuah yang memiliki tujuan meningkatkan pengabdian mengangkat harkat dan martabat etnis Melayu di daerah ini.

Nama bandara pengganti Bandara Polonia diusulkan dengan nama “Bandar Udara Internasional Tengku Amir Hamzah” atau Tengku Amir Hamzah International Airport.

Sumber : WASPADA ONLINE, 09 September 2008

Kamis, 04 September 2008

Gurindam Dua Belas

Gurindam Dua Belas ditulis oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Riau, pada tanggal 23 Rajab 1263 Hijriyah atau 1847 Masehi dalam usia 38 tahun.
Karya ini terdiri atas 12 Fasal dan dikategorikan sebagai “Syi‘r al-Irsyadi” atau puisi didaktik, karena berisikan nasihat dan petunjuk menuju hidup yang diridhoi Allah.
Selain itu terdapat pula pelajaran dasar Ilmu Tasawuf tentang mengenal “yang empat” : yaitu syari‘at, tarikat, hakikat, dan makrifat. Diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, dengan huruf Arab dan terjemahannya dalam bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.

Berikut ini adalah isi Gurindam 12 Pasal demi pasal

PASAL YANG PERTAMA
Barang siapa tiada memegang agama, segala-gala tiada boleh dibilang nama
Barang siapa mengenal yang empat, maka yaitulah orang yang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegaknya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri
Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terpedaya
Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudharat

PASAL YANG KEDUA
Barang siapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut
Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang
Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa
Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat
Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji

PASAL YANG KETIGA
Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita
Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping
Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya faedah
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan
Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi'il yang tidak senonoh
Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan yang membawa rugi

PASAL YANG KEEMPAT
Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota tubuh pun rubuh
Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah
Mengumpat dam memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir
Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala
Jika sedikitpun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka
Bakhil jangan diberi singgah, itulah perompak yang amat gagah
Barang siapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar
Barang siapa perkataan kotor, mulutnya itu umpama ketor
Di manakah salah diri, jika tidak orang lain yang berperi
Pekerjaan takbur jangan direpih sebelum mati didapat juga sepih

PASAL YANG KELIMA
Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang mulia, lihatlah kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal, di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai, lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai

PASAL YANG KEENAM
Cahari olehmu akan sahabat, yang boleh dijadikan obat
Cahari olehmu akan guru, yang boleh tahukan tiap seteru
Cahari olehmu akan isteri, yang boleh menyerahkan diri
Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan
Cahari olehmu akan abdi, yang ada baik sedikit budi

PASAL YANG KETUJUH
Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta
Apabila banyak berlebih-lebihan suka, itu tanda hampirkan duka
Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat
Apabila anak tidak dilatih, jika besar bapanya letih
Apabila banyak mencacat orang, itulah tanda dirinya kurang
Apabila orang yang banyak tidur, sia-sia sajalah umur
Apabila mendengar akan kabar, menerimanya itu hendaklah sabar
Apabila mendengar akan aduan, membicarakannya itu hendaklah cemburuan
Apabila perkataan yang lemah lembut, lekaslah segala orang mengikut
Apabila perkataan yang amat kasar, lekaslah orang sekalian gusar
Apabila pekerjaan yang amat benar, tidak boleh orang berbuat onar

PASAL YANG KEDELAPAN
Barang siapa khianat akan dirinya, apalagi kepada lainnya
Kepada dirinya ia aniaya, orang itu jangan engkau percaya
Lidah suka membenarkan dirinya, daripada yang lain dapat kesalahannya
Daripada memuji diri hendaklah sabar, biar daripada orang datangnya kabar
Orang yang suka menampakkan jasa, setengah daripadanya syirik mengaku kuasa
Kejahatan diri disembunyikan, kebajikan diri diamkan
Ke'aiban orang jangan dibuka, ke'aiban diri hendaklah sangka

PASAL YANG KESEMBILAN
Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan, bukannya manusia yaitulah syaitan
Kejahatan seorang perempuan tua, itulah iblis punya penggawa
Kepada segala hamba-hamba raja, di situlah syaitan tempatnya manja
Kebanyakan orang yang muda-muda, di situlah syaitan tempat bergoda

Perkumpulan laki-laki dengan perempuan, di situlah syaitan punya jamuan
Adapun orang tua(h) yang hemat, syaitan tak suka membuat sahabat
Jika orang muda kuat berguru, dengan syaitan jadi berseteru

PASAL YANG KESEPULUH
Dengan bapa jangan derhaka, supaya Allah tidak murka
Dengan ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat
Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai
Dengan kawan hendaklah adil, supaya tangannya jadi kapil

PASAL YANG KESEBELAS
Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa
Hendak jadi kepala, buang perangai yang cela
Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat
Hendak marah, dahulukan hujjah
Hendak dimalui, jangan memalui
Hendak ramai, murahkan perangai

PASAL YANG KEDUABELAS
Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri
Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja
Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat
Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu
Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai
Ingatkan dirinya mati. itulah asal berbuat bakti
Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta

Minggu, 31 Agustus 2008

deklarasi LASKAR MELAYU HANG TUAH


Dengan Mengambil tempat di Jalan Sultan Ma’moen Al Rasyid No. 60 (Jl. Brigjen Katamso Medan)atau lebih tepatnya sekretariat DPP Laskar Melayu Hang Tuah, pada tanggal 30 Agustus 2008 (28 Sya'ban 1429 H), telah dideklarasikan kepengurusan DPP Laskar Melayu Hang Tuah dengan Ketua Umum H.T. Syahrizal Arif, SE, SH,MM dan Sekretaris Umum T. Reza Zulkarnaen SH. MAP, serta jajaran pengurus lainnya yang terdiri dari Para Wakil Ketua dan Ketua Departemen. Sekaligus pada sore harinya dikukuhkan pula Kepengurusan DPD Laskar Melayu Hang Tuah Serdang Bedagai.

Organisasi ini bertujuan antara lain untuk meningkatkan kualitas sumber daya etnis melayu berilmu dengan didukung oleh iman dan taqwa serta meningkatkan pengabdian bagi masyarakat melayu. Organisasi yang dibentu berdasarkan Akta Pendirian Laskar Melayu Hang Tuah Nomor 23 yang diternitkan oleh Notaris Mangatas Nasution, SH tanggal 23 Juli 2008 ini memiliki Visi MELAYU BANGKIT DAN BERMANFAAT, dengan semboyan JANJI TAK BERUBAH, SETIA TAK BERTUKAR.

Pada kesempatan tersebut Ketua Umum, berharap organisasi ini dapat eksis di masyarakat khususnya etnis melayu, dengan terus menerus melaksanakan sosialisasi dan konsolidasi, dan diharapkan kepada seluruh jajaran pengurus hendaknya benar-benar berdedikasi tinggi dalam memajukan organisasi dengan taat dan patuh menjalankan peran dan fungsinya sesuai visi dan misi organisasi.

Semoga oranisasi ini dapat berjalan sesuai dengan visi misi organisasi dan tidak menjadi organisasi yang hanya punya nama namun tidak ada karya, semoga pula dengan berdirinya organisasi ini dapat lebih memajukan masyarakat Sumatera Utara khususnya yang ber etnis Melayu.
(bang ical)

RAGAM RENTAK TARIAN MELAYU

Pada awalnya puak Melayu tidak mengenal istilah 'tari' tetapi yang dikenal adalah istilah 'tandak', dimana dalam majlis keramaian di kampung mereka biasanya akan 'bertandak'. Lama-lama istilah ‘tandak’ menghilang diganti oleh istilah ‘tari’. Halmana juga terjadi pada puak-puak Melayu di kepulauan Nusantara lainnya, misalnya ‘Ronggeng’ di Deli, Betawi dan Pasundan, 'Tayub' dan 'Joged' di Jawa dan Bali, 'Lenso' di Maluku dan Menado (Sulawesi Utara).

Khusus ragam tari Melayu, baik di Sumatra, Kalimantan maupun Semenanjung, dikenal istilah ‘rentak’ yang terdiri atas :
• Rentak Zapin
• Rentak Senandung/Asli
• Rentak Mainang/Inang
• Rentak Dua/Joged
• Rentak Cik Minah Sayang
• Rentak Pulau Sari

Tiap 'rentak' mempunyai karakteristik khusus dan latarbelakang yang unik pula:

Rentak Zapin
Zapin berasal dari Hadramaut di Jazirah Arab. Sampai di Kepulauan Melayu Nusantara melalui dua route perdagangan iaitu Hadramaut dan lainnya dari Gujarat, India. Sekitar abad ke-13 dan 14, Zapin dikenalkan kepada pribumi oleh para pedagang dan juru dakwah Arab dan India yang tampaknya juga memboyong sekalian para artist dan musisi langsung dari tanah asal mereka. Zapin pada perkembangannya kemudian berasimilasi dengan budaya Melayu pribumi diskenal sebagai Zapin Arab (Zafin). Bentuk adaptasi dari tarian ini dengan memasukkan warna tempatan kemudian juga muncul dan selanjutnya dikenal sebagai Zapin Melayu (Zapin/Jepin/Jepen).
Istilah 'Zapin' berasal dari bahasa Arab 'Al-Zafn' yang artinya ‘langkah tari’ (dance steps). Yang memang jenis tarian ini banyak bertumpu pada variasi loncatan gerak kaki. Contoh Rentak Zapin adalah Zapin Tempurung dan Zapin Kipas.

Rentak Senandung/Asli
Selain rentak Zapin yang berasal dari Arab, tarian Melayu juga dipengaruhi budaya negara lain seperti Portugis (Feringgi), Spanyol, India maupun unsur-unsur budaya daerah-daerah Nusantara lainnya. Rentak Senandung/Asli bercirikan gerak gemulai dan lenggok lembutnya. Tarian Melayu yang anggun ini biasanya ditampilkan bagi puteri raja dengan iringan musik yang mendayu-dayu dengan isi pantun yang menghiba-hiba tentang asmara maupun kesedihan. Istilah Asli bermakna eksprsi yang dalam. Contoh rentak Asli adalah Tari Persembahan.

Rentak Mainang/Inang
Ragam tarian ini berhubungan dengan gerak-gerik pengasuh puteri/putera raja atau inang. Awalan 'ma' maksudnya adalah panggilan 'mak' terhadap Inang Pengasuh. Gerakan rentak Mainang agak lebih cepat dibanding Rentak Asli kadang malahan cukup bertenaga untuk menggambarkan gerakan jenaka menghibur. Contoh Rentak Mainang adalah Tari Mainang Pulau Kampai; Mainang Melayu dan Mainang Kahyangan.

Rentak Dua/Joged
Namanya juga Joged, pastilah rentak ini banyak bergoyang, hidup dan ceria. Istilah 'Lagu Dua' menggambarkan interaksi 2 orang (lawan jenis) dalam suasana keriangan. Contoh jenis tarian ini adalah Joged Batanghari dan Joged Selampit Delapan (Jambi)
Other Dance Styles

Rentak Cik Minah Sayang
adalah gabungan antara Inang dan Joged. Sedangkan Rentak Pulau Sari berasal dari kombinasi beberapa rentak Melayu tetapi unsur-unsur pentingnya saja yang diambil dan digabungkan untuk menghasilkan suatu jenis tarian baru yang menarik. Jenis tarian ini memang berhasil menarik banyak perhatian, contohnya Serampang Duabelas yang menjadi salah satu tarian terkenal seantero Nusantara karena menarik untuk ditampilkan dalam persembahan di panggung dan majlis.

Diterjemah ulang dari tulisan Tom Ibnur
Balai Seni Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Jambi, Indonesia

TENGKU AMIR HAMZAH


RIWAYAT HIDUP

Dalam diri seorang penyair, ada dua aspek yang sering diperbincangkan, yaitu mengenai realitasnya sebagai seorang manusia, dan kapasitasnya sebagai seorang penyair. Dua realitas ini berjalan seiring, saling mempengaruhi dan saling menjelaskan. Dalam arti, pengalaman kemanusiaan sehari-hari tentu akan sangat mempengaruhi kualitas syair, dan sebaliknya, ekspresi-ekspresi kepenyairan merupakan teks penjelas mengenai sisi kemanusiaan seseorang.

Semua penyair adalah manusia, namun, tidak semua manusia menjadi penyair. Dalam konteks ini, kepenyairan merupakan nilai lebih dari sisi kemanusiaan seseorang. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika seorang penyair ditempatkan pada posisi tertentu dalam sejarah kemanusiaan kita, sambil diiringi hasrat yang kuat untuk memikirkan, memahami dan menghayati renungan-renungan agungnya. Amir Hamzah adalah seorang manusia penyair. Karena kepenyairannya, ia kemudian jadi terkenal; sebaliknya, karena sisi kemanusiaannya yang terlahir sebagai seorang anggota keluarga kesultanan Langkat, ia kemudian dibunuh.

Ia memang terlahir sebagai putera dari seorang keluarga istana, sebuah posisi politik yang tidak selamanya menguntungkan, apalagi pada saat itu. Sekali lagi, ia memang terlahir, bukan melahirkan diri. Sebab ia tak kuasa untuk memilih, apalagi menolak: apakah menjadi bagian dari rakyat jelata, atau bangsawan istana. Dalam hal ini, lahir sebagai seorang bangsawan atau rakyat jelata bukanlah suatu kesalahan, apalagi dosa. Maka, agak susah untuk dipahami, jika kemudian ia dibunuh --bukan terbunuh-- karena suatu realitas yang memang berada dalam dirinya, namun di luar kuasanya.

Harmoni dan konflik adalah dua realitas yang akan terus berlangsung di muka bumi. Lahir pada 28 Januari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, Amir tumbuh dan berkembang dalam suasana harmonis keluarga sultan di istana. Sebagaimana kerajaan Melayu lainnya, Langkat juga memiliki tradisi sastra yang kuat. Lingkungan istana inilah yang pertama kali mengenalkan dunia sastra pada dirinya. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil adalah seorang pangeran di Langkat yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Pemberian namanya sebagai Amir Hamzah disebabkan ayahnya yang sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah. Ayahnya sering mengadakan pembacaan hikayat semalam suntuk dengan mendatangkan juru hikayat. Di antara hikayat tersebut adalah Hikayat Hang Tuah, Sejarah Melayu, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Ali Hanafiah, Bustanussalatin dan kisah para nabi. Dalam lingkungan yang seperti itulah, kecintaan Amir terhadap sejarah, adat-istiadat dan kesusasteraan negerinya tumbuh. Lingkungan Tanjungpura juga sangat mendukung perkembangan sastra Melayu, mengingat penduduknya kebanyakan datang dari Siak, Kedah, Selangor, Pattani dan beberapa negeri Melayu lainnya. Dari situ, bisa dilihat latar belakang Amir yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan Melayu yang kental. Dalam masa pertumbuhannya di Tanjungpura, ia sekolah di Langkatsche School (kemudian berubah menjadi HIS), sebuah sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda. Pada sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat. Setelah tamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan. Tidak sampai selesai, ia kemudian pindah sekolah ke MULO Jakarta. Saat itu, umurnya masih 14 tahun.

Disamping lingkungan istana Langkat dan kota Tanjungpura, perkembangan kepenyairan Amir Hamzah juga banyak dibentuk selama masa belajarnya di Jawa, sejak sekolah menengah di MULO Jakarta, Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo, hingga Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Saat itu, Jawa adalah pusat pergerakan nasional Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Segala lini kehidupan dan potensi bangsa bersatu padu untuk meraih kemerdekaan tersebut. Suasana pergolakan, pertentangan dan idealisme yang menggebu telah membentuk karakter-karakter pemuda yang idealis, berpikir dalam dan jauh ke depan. Semasa studi di Jawa inilah, terutama ketika masih di AMS Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya.

Revolusi memang sering melahirkan orang-orang besar, namun revolusi juga yang mengubur orang-orang besar tersebut. Amir Hamzah lahir dan besar di tengah revolusi, dan revolusi juga yang telah menguburnya. Ia meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur pada bulan Maret 1946, awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Ia tewas dipancung tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946. Sungguh disesalkan, penyair yang berwajah dan berhati lembut ini telah mati muda: 35 tahun. Saat ini, di kuburan Amir Hamzah terpahat ukiran dua buah sajaknya. Pada sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;

Bunda, waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh embang cempaka
Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda

Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musafir lata

Pada sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita

Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Revolusi di Sumatera Timur memang telah berjalan tanpa kendali, sehingga banyak memakan korban orang-orang yang tidak berdosa. Apa salah dan dosa Amir Hamzah? Ia adalah seorang nasionalis sejati. Pada tahun 1931, ia pernah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo; ia bergaul dengan para tokoh pergerakan nasional; dan telah memberikan sumbangan tak ternilai pada dunia kesusasteraan. Kesalahannya saat itu adalah: ia lahir dari keluarga istana. Saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Sebagai korbannya, banyak para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh, termasuk Amir Hamzah sendiri. Bagaimanapun, ia telah memberikan sumbangan tak ternilai dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia, melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Karya
Seandainya Amir tidak mati muda, mungkin akan lebih banyak lagi syair yang dihasilkannya. Tapi itulah, takdir seringkali tak bisa ditebak, dan sejarah seringkali menjemput orang-orag terbaiknya lebih awal. Mati muda bukanlah pilihan hidup Amir, tapi lebih merupakan takdir tuhan, dan dalam tataran tertentu, kecelakaan sejarah. Walaupun hidupnya sangat singkat, Amir telah menghasilkan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Karya-karya tersebut terkumpul dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita. Dari karya-karya tersebutlah, Amir meneguhkan posisinya sebagai penyair hebat. Sutan Takdir Alisjahbana menyebut karya-karya Amir dalam Nyanyi Sunyi sebagai berkualitas internasional; para pengamat lain menyebut karya tersebut sebagai salah satu puncak kepenyairan Indonesia. Berkaitan dengan pribadi Amir, Anthony H. Johns menyebutnya sebagai a distinctive and uncompromising individual. H.B. Jassin dan Zuber Usman menyebutnya sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Sedangkan A. Teeuw menyebutnya sebagai, the only pre-war poet in Indonesia whose works reaches international level and is of lasting literary interest.

Penghargaan

Penghargaan terhadap jasa dan sumbangsih Amir Hamzah terhadap bangsa dan negara Indonesia baru diakui secara resmi pada tahun 1975, ketika Pemerintah Orde Baru menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Dalam tataran simbolik lainnya, penghargaan dan pengakuan terhadap jasa Amir Hamzah ini bisa dilihat dari penggunaan namanya sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sumber :
Abrar Yusra (ed), 1996. Amir Hamzah--1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Wikipedia

TENTANG TUHAN

Pandangan orang Melayu terhadap agama Islam sangat kental, sehingga muncul konsep bahwa Melayu identik dengan Islam. Bagi orang Melayu, konsep tersebut bukanlah sebatas slogan karena hal tersebut benar-benar diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bila ada orang Melayu yang murtad (keluar dari agama Islam), maka ia tidak lagi dikatakan sebagai orang Melayu. Sebaliknya, bila ada orang Cina yang hidup di tengah masyarakat Melayu masuk Islam, maka dia dikatakan masuk Melayu.

Oleh karena Melayu identik dengan Islam, maka Tuhan yang patut disembah adalah Allah. Proses ini pada akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang melekat di dalam kebudayaan Melayu, sehingga menjadi suatu sistem yang tidak terpisahkan bagi orang Melayu, Islam, dan Allah. Maka terjadilah proses timbal balik antara Melayu dan Islam dengan segala dimensinya sebagai sebuah sistem yang saling mengisi.

Budaya Melayu memiliki nilai-nilai luhur yang sudah teruji kehandalannya, dan selama ratusan tahun yang silam dijadikan jatidiri masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang diyakini dapat mengangkat marwah, harkat, dan martabat kemelayuan dalam arti luas dan mampu menghadapi cabaran atau tantangan zaman. Di dalam adat resam Melayu, nilai-nilai dimaksud dipaterikan kedalam ungkapan-ungkapan adat, yang disebut sebagai Sifat yang Duapuluh Lima atau Pakaian yang Duapuluh Lima. Orang tua-tua Melayu percaya, siapapun yang menjadiÂkan sifat ini sebagai jatidiri-nya atau sebagai pakaian hidup-nya, tentulah akan menjadi orang, yakni menjadi manusia yang sempurna lahiriah dan batiniah. Salah satu dari 25 sifat tersebut menjelaskan tentang pandangan orang Melayu terhadap Tuhan, yaitu:

Sifat tahu asal mula jadi, tahu berpegang pada Yang Satu

Yakni sifat yang menyadari dirinya sebagai manusia (makhluk) yang diciptakan oleh Allah, dan menyadari dirinya sebagai hamba Allah. Kesadaran ini mendorongÂnya untuk bertaqwa kepada Allah, mematuhi semua peÂrintah Allah, menjauhi semua laranganNya, dan berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang saleh agar mendapatkan kesejahteraan di dunia dan sejahtera pula di akhirat. Dengan kesadaran ini akan meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya, akan menjadikan dirinya sebagai manusia yang berguna bagi sesama makhluk Allah, dan bertanggungjawab terhadap pelestariÂan alam ciptaan Allah. Di dalam ungkapan disebutkan:

Tahu asal mula kejadian
Tahu berpegang pada Yang Satu
Hamba tahu akan Tuhannya
Makhluk tahu akan Khaliknya

Yang agama berkokohan
Yang iman berteguhan
Yang sujud berkekalan
Yang amal berkepanjangan

Sesama manusia ia berguna
Sesama makhluk ianya elok
Di dunia ia bertuah
Di akhirat beroleh berkah

Budaya Melayu adalah budaya yang menyatu dengan ajaran agama Islam. Nilai keislaman menjadi acuan dasar budaya Melayu. Karenanya, budaya Melayu tidak dapat dipisahkan dari Islam, sebagaimana tercermin dari ungkapan adat: Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah; Syarak mengata adat memakai, syah kata syarak, benar kata adat; Bila bertikai adat dengan syarak, tegakkan syarak, dan sebagaiÂnya. Bagi orang Melayu, agama Islam adalah aturannya.


Sumber:
Tenas Effendy, Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah, (BKPBM, Yogyakarta, 2005).

Rabu, 20 Agustus 2008

TENTANG MANUSIA

Orang Melayu pada umumnya, sandaran dan landasan utama untuk menjadi manusia yang sempurna lahir dan batin adalah dengan menghayati dan mengamalkan ajaran Islam yang mereka anut, serta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam adat istiadat, budaya dan norma-norma sosial yang berlaku dan diwarisi secara turun temurun.

Di dalam ungkapan adat dikatakan, jika hendak menjadi orang, tunjuk ajar janganlah kurang. Ungkapan lain menyebutkan kalau diri hendak bertuah, carilah ilmu dunia akhirat, bila hidup hendak selamat, tuntutlah ilmu dunia, kalau hidup hendak terpuji, salah dan kurang hendaknya diperbaiki, panjangkan akal dalamkan hati. Supaya selamat dunia akherat, kebodohan diri hendaklah ingat, suapay hidup tidak terbuang, elok dicari buruk dibuang. Acuan ini mendorong orang Melayu untuk meningkatkan kecerdasan dan kemampuannya, agar segala kekurangan dan kelemahannya dapat ditutupi atau dihilangkan sema sekali.

Selanjutnya orang tua-tua mengingatkan, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki keseimbangan antara pengetahuan dengan keimanan. Manusia yang memiliki keseimbangan ini disebut orang bertuah yang menjadi idaman orang Melayu. Untuk mewujudkan orang bertuah itu, diwariskan suatu falsafah yang disebut tunjuk ajar yang berisikan nilai-nilai luhur agama, budaya, dan norma-norma sosial. Tunjuk ajar mengandung pula seruan agar setiap orang menuntut ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, asal tidak menyalahi aturan agama dan nilai-nilai luhur yang telah mereka warisi secara turun temurun. Ilmu itulah yang diyakini akan membawa manfaat bagi kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat.

Orang tua-tua Melayu amat arif dalam menyikapi kecenderungan manusia meniru kebudayaan asing yang dapat menyebabkan hilangnya kebudayaan lokal. Bagi orang Melayu, pengalaman atau pergaulan dengan suku-bangsa asing yang datang ke Riau mendorong mereka bersikap terbuka; namun dengan tetap berhati-hati. Sikap kehati-hatian ini dilakukan supaa mereka tidak mesti menerima atau menyerap semua unsur budaya asing, karena tidak semua unsur budaya asing serasi dan bermanfaat bagi mereka. Untuk menepis unsur budaya asing yang tidak serasi dan bermanfaat itu, merek sejak dini mewariskan tunjuk ajar yang berisi peringatan dalam menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing.

Sumber:
Tenas Effendy, Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Marwah, (BKPBM, Yogyakarta, 2005).

ARTI TEPAK SIRIH



Masyarakat Melayu terkenal dengan sifat sopan santun, berbudi bahasa serta penuh dengan adat budaya dalam menjalani kehidupan seharian. Adat lebih diutamakan, bak kata pepatah ‘biar mati anak jangan mati adat’, lebih-lebih lagi ketika mengadakan majlis meminang, bertunang dan pernikahan. Untuk memulai upacara merisik, pertunangan dan pernikahan, masyarakat Melayu menggunakan tepak sirih sebagai pembuka kata.
Dalam adat bersirih, setiap bahan yang terkandung mempunyai pengertian dan membawakan maksud tertentu.

SIRIH : Memberi arti sifat yang merendah diri dan sentiasa memuliakan orang lain, sedangkan dirinya sendiri adalah bersifat pemberi.

KAPUR : Melambangkan hati seseorang yang putih bersih serta tulus, tetapi jika keadaan tertentu yang memaksanya ia akan berubah lebih agresif dan marah.

GAMBIR : Dengan sifatnya yang kelat kepahit-pahitan memberikan arti ketabahan dan keuletan hati.

PINANG : Digambarkan sebagai lambang keturunan orang yang baik budi pekerti, tinggi darjatnya serta jujur. Bersedia melakukan sesuatu perkara dengan hati terbuka dan bersungguh-sungguh

TEMBAKAU : Melambangkan seseorang yang berhati tabah dan sedia berkorban dalam segala hal

Tepak sirih digunakan sebagai barang perhiasan dan atau dalam upacara-upacara resmi. karena tepak sirih penting dalam adat istiadat, maka tidak layak digunakan sembarangan.
Dulang tepak sirih ini terbagi dua bagian, di bagian atas disusun empat cembul dengan urutan susunan : pinang, kapur, gambir dan tembakau. Di bagian bawah pula disusun cengkeh, daun sirih dan kacip.

Bagi masyarakat Melayu, sirih disusun sedemikian rupa untuk menunjukkan tertib ketika mengapur sirih, yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan. Daun-daun sirih yang disusun dalam tepak sirih hendaklah dilipat bersisip antara satu sama lain dan disamakan tangkainya, disusun sebanyak lima atau enam helai dalam satu baris. Satu tepak sirih selalunya mengandungi empat atau lima susun sirih tadi. Sirih yang berlipat ini wajib dibuat kerana hendak mengelak dari terlihat ekor sirih itu. Ekor sirih tidak boleh dinampakkan karena dianggap satu keadaan yang kurang sopan dan tidak menghormati tamu. Tepak sirih yang telah lengkap ini dihias dengan bunga dan dibungkus dengan kain songket.