Minggu, 31 Agustus 2008

TENGKU AMIR HAMZAH


RIWAYAT HIDUP

Dalam diri seorang penyair, ada dua aspek yang sering diperbincangkan, yaitu mengenai realitasnya sebagai seorang manusia, dan kapasitasnya sebagai seorang penyair. Dua realitas ini berjalan seiring, saling mempengaruhi dan saling menjelaskan. Dalam arti, pengalaman kemanusiaan sehari-hari tentu akan sangat mempengaruhi kualitas syair, dan sebaliknya, ekspresi-ekspresi kepenyairan merupakan teks penjelas mengenai sisi kemanusiaan seseorang.

Semua penyair adalah manusia, namun, tidak semua manusia menjadi penyair. Dalam konteks ini, kepenyairan merupakan nilai lebih dari sisi kemanusiaan seseorang. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika seorang penyair ditempatkan pada posisi tertentu dalam sejarah kemanusiaan kita, sambil diiringi hasrat yang kuat untuk memikirkan, memahami dan menghayati renungan-renungan agungnya. Amir Hamzah adalah seorang manusia penyair. Karena kepenyairannya, ia kemudian jadi terkenal; sebaliknya, karena sisi kemanusiaannya yang terlahir sebagai seorang anggota keluarga kesultanan Langkat, ia kemudian dibunuh.

Ia memang terlahir sebagai putera dari seorang keluarga istana, sebuah posisi politik yang tidak selamanya menguntungkan, apalagi pada saat itu. Sekali lagi, ia memang terlahir, bukan melahirkan diri. Sebab ia tak kuasa untuk memilih, apalagi menolak: apakah menjadi bagian dari rakyat jelata, atau bangsawan istana. Dalam hal ini, lahir sebagai seorang bangsawan atau rakyat jelata bukanlah suatu kesalahan, apalagi dosa. Maka, agak susah untuk dipahami, jika kemudian ia dibunuh --bukan terbunuh-- karena suatu realitas yang memang berada dalam dirinya, namun di luar kuasanya.

Harmoni dan konflik adalah dua realitas yang akan terus berlangsung di muka bumi. Lahir pada 28 Januari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, Amir tumbuh dan berkembang dalam suasana harmonis keluarga sultan di istana. Sebagaimana kerajaan Melayu lainnya, Langkat juga memiliki tradisi sastra yang kuat. Lingkungan istana inilah yang pertama kali mengenalkan dunia sastra pada dirinya. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil adalah seorang pangeran di Langkat yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Pemberian namanya sebagai Amir Hamzah disebabkan ayahnya yang sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah. Ayahnya sering mengadakan pembacaan hikayat semalam suntuk dengan mendatangkan juru hikayat. Di antara hikayat tersebut adalah Hikayat Hang Tuah, Sejarah Melayu, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Ali Hanafiah, Bustanussalatin dan kisah para nabi. Dalam lingkungan yang seperti itulah, kecintaan Amir terhadap sejarah, adat-istiadat dan kesusasteraan negerinya tumbuh. Lingkungan Tanjungpura juga sangat mendukung perkembangan sastra Melayu, mengingat penduduknya kebanyakan datang dari Siak, Kedah, Selangor, Pattani dan beberapa negeri Melayu lainnya. Dari situ, bisa dilihat latar belakang Amir yang tumbuh dalam keluarga dan lingkungan Melayu yang kental. Dalam masa pertumbuhannya di Tanjungpura, ia sekolah di Langkatsche School (kemudian berubah menjadi HIS), sebuah sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda. Pada sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat. Setelah tamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan. Tidak sampai selesai, ia kemudian pindah sekolah ke MULO Jakarta. Saat itu, umurnya masih 14 tahun.

Disamping lingkungan istana Langkat dan kota Tanjungpura, perkembangan kepenyairan Amir Hamzah juga banyak dibentuk selama masa belajarnya di Jawa, sejak sekolah menengah di MULO Jakarta, Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo, hingga Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Saat itu, Jawa adalah pusat pergerakan nasional Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Segala lini kehidupan dan potensi bangsa bersatu padu untuk meraih kemerdekaan tersebut. Suasana pergolakan, pertentangan dan idealisme yang menggebu telah membentuk karakter-karakter pemuda yang idealis, berpikir dalam dan jauh ke depan. Semasa studi di Jawa inilah, terutama ketika masih di AMS Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya.

Revolusi memang sering melahirkan orang-orang besar, namun revolusi juga yang mengubur orang-orang besar tersebut. Amir Hamzah lahir dan besar di tengah revolusi, dan revolusi juga yang telah menguburnya. Ia meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur pada bulan Maret 1946, awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Ia tewas dipancung tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946. Sungguh disesalkan, penyair yang berwajah dan berhati lembut ini telah mati muda: 35 tahun. Saat ini, di kuburan Amir Hamzah terpahat ukiran dua buah sajaknya. Pada sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;

Bunda, waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh embang cempaka
Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda

Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musafir lata

Pada sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita

Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Revolusi di Sumatera Timur memang telah berjalan tanpa kendali, sehingga banyak memakan korban orang-orang yang tidak berdosa. Apa salah dan dosa Amir Hamzah? Ia adalah seorang nasionalis sejati. Pada tahun 1931, ia pernah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo; ia bergaul dengan para tokoh pergerakan nasional; dan telah memberikan sumbangan tak ternilai pada dunia kesusasteraan. Kesalahannya saat itu adalah: ia lahir dari keluarga istana. Saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Sebagai korbannya, banyak para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh, termasuk Amir Hamzah sendiri. Bagaimanapun, ia telah memberikan sumbangan tak ternilai dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia, melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Karya
Seandainya Amir tidak mati muda, mungkin akan lebih banyak lagi syair yang dihasilkannya. Tapi itulah, takdir seringkali tak bisa ditebak, dan sejarah seringkali menjemput orang-orag terbaiknya lebih awal. Mati muda bukanlah pilihan hidup Amir, tapi lebih merupakan takdir tuhan, dan dalam tataran tertentu, kecelakaan sejarah. Walaupun hidupnya sangat singkat, Amir telah menghasilkan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Karya-karya tersebut terkumpul dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita. Dari karya-karya tersebutlah, Amir meneguhkan posisinya sebagai penyair hebat. Sutan Takdir Alisjahbana menyebut karya-karya Amir dalam Nyanyi Sunyi sebagai berkualitas internasional; para pengamat lain menyebut karya tersebut sebagai salah satu puncak kepenyairan Indonesia. Berkaitan dengan pribadi Amir, Anthony H. Johns menyebutnya sebagai a distinctive and uncompromising individual. H.B. Jassin dan Zuber Usman menyebutnya sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Sedangkan A. Teeuw menyebutnya sebagai, the only pre-war poet in Indonesia whose works reaches international level and is of lasting literary interest.

Penghargaan

Penghargaan terhadap jasa dan sumbangsih Amir Hamzah terhadap bangsa dan negara Indonesia baru diakui secara resmi pada tahun 1975, ketika Pemerintah Orde Baru menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Dalam tataran simbolik lainnya, penghargaan dan pengakuan terhadap jasa Amir Hamzah ini bisa dilihat dari penggunaan namanya sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sumber :
Abrar Yusra (ed), 1996. Amir Hamzah--1911-1946: Sebagai Manusia dan Penyair. Jakarta: Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Wikipedia

Tidak ada komentar: