Rabu, 15 April 2009

Konsepsi Patut dalam Melayu



Oleh : Ellyzan Katan

Tamadun Melayu mengenal konsepsi tentang patut; posisi ideal suatu peristiwa, kelakuan, dan juga pemikiran. Patut di sini adalah ukuran yang bermain di tengah kehidupan masyarakat di mana di dalamnya mengandung ketentuan ketat antara yang sesuai dengan yang tidak sesuai. Sebagai contoh, pemikiran yang patut bagi seorang Melayu dapat dilihat ketika dia memikirkan suatu rencana kehidupan yang tidak menyinggung orang lain di lingkungan sekitar. Ini dinamakan pemikiran yang patut. Sebaliknya, jika dalam bentuk aksi, individu itu melanggar berbagai nilai dan norma yang telah lama tertanam dalam diri manusia di lingkungannya, itu jelas-jelas tidak patut. Intinya adalah yang tidak menimbulkan pergesekan, konflik di tengah masyarakat, maka dinamakan patut.

Di sini, jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari, ukuran patut dan tidak patut akan dengan gampang untuk dilihat. Beberapa kasus kecurangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, yang pada ujung-ujungnya menimbulkan rasa tidak senang dari para peserta yang lainnya, juga dapat dikategorikan hal yang tidak patut. Itu adalah ketidak sesuaian antara “yang seharusnya” dengan “yang terjadi”. Dalam kasus kecurangan itu akan melibatkan banyak hujah; alasan yang melatarbelakangi lahirnya perbuatan yang tidak patut.

Namun dengan begitu pula, akan menunjukkan bahwa hingga saat ini, kategori patut dan tidak patut yang dikenal dalam Melayu, menjadi bias. Padahal diakui bahwa dengan mendudukkan kata patut dalam suatu pemikiran yang riil, menuntun kita untuk menghindari konflik. Bukan seperti sekarang, dari sebagian besar kasak kusuk kehidupan perpolitikan di tingkat lokal, justru mengarahkan opini yang ada pada jawaban yang sangat mengejutkan; kita telah lama meninggalkan konsepsi patut ini. Ini lantaran kata patut yang telah berjiwa dan berakar disejajarkan dengan semangat untuk meraih kekuasaan. Jadinya semua serba dangkal akan nilai kekeluargaan. Sementara kekuasaan pula, hanyalah jalan yang dapat melegalkan setiap pemikiran dan tingkah laku dari seorang pemimpin.

Sebelumnya, terlebih dahulu saya ingin menegaskan di sini bahwa bukan maksud saya untuk mematahkan logika berpikir dari setiap orang Melayu dalam memandang ketentuan negara. Padahal pada satu sisi, antara ketentuan yang dikeluarkan oleh negara dengan cara hidup puak Melayu ada kesamaan pandangan yang mesti disadari. Bukankah setiap peraturan perundangan-undangan yang ada diterima oleh setiap puak Melayu tanpa ada sedikit cela pun? Itu tandanya orang Melayu menyadari bahwa dengan adanya kepatuhan itu, segala yang mengarah pada hal-hal yang tidak patut dapat diminimalisir.

Lantas timbul pertanyaan. Termasukkah kasus korupsi di sini? Saya kira itu adalah pertanyaan yang sangat tepat untuk kita katakan sebagai pintu gerbang menuju suatu perubahan, bukan hanya perubahan hukum melainkan juga perubahan sosial.

Korupsi di sini, yang oleh undang-undang lebih ditekankan pada penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan baik materi maupun non materi, menyentuh urat nadi kehidupan Melayu. Akibat korupsi kesengsaraan mulai merayap ke mana-mana. Penduduk negeri yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini tak juga menemukan jalan lurus untuk meraih kesejahteraan. Padahal negara oleh Khan, mempunyai tugas sebagai penjaga malam. Itu artinya selain mampu memberikan rasa tenang juga harus mampu menyuguhkan kecukupan ekonomis. Namun jika sebaliknya negara tidak mampu untuk menerapkan ide dasar yang telah bersusah payah dilahirkan oleh Khan itu, saya khawatir teori benturan peradaban ala Huntington semakin menunjukkan gejala yang tegas.

Kita di sini, sebagai tamadun Melayu misalnya, masih mempunyai beberapa “alat” -kalau boleh saya berkata demikian- untuk mencari jalan keluar dari pergelutan masalah yang ada. Selain konsepsi patut, tentunya kita mengenal pula pantang larang.

Pantang larang di sini juga menyerupai dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara. Hanya saja perbedaannya lebih pada tataran kehidupan secara luas. Pantang larang dikenal dalam kehidupan keluarga-keluarga Melayu, sementara peraturan perundang-undangan sebagai suatu produk hukum, mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi baik sesama manusia maupun dengan negara. Yang pasti pantang larang dalam Melayu adalah bentuk-bentuk nilai dan norma yang tak terbantahkan. Saya kira saatnyalah kita kembali mengangkat segala seluk beluk kekayaan kulutural yang masih ada secara tradisional ke tengah kehidupan modern saat ini, tentu saja dengan penyesuaian yang lebih dianggal ideal bagi perkembangan dan kebutuhan zaman.

Memang dibutuhkan suatu pemahaman yang khusus untuk dapat mensejajarkan konsepsi patut dan pantang larang dalam Melayu dengan segala leguh legah kehidupan. Ini berarti juga puak Melayu memegang kuat-kuat teraju kultural agamis yang ada.

Jangan melakukan korupsi, itu tidak patut. Jangan berbuat kolusi, itu juga tidak patut. Alasannya masih ada pantang larang yang mesti diperhatikan sebab dengan begitu lahirlah tatanan kehidupan tamadun Melayu yang utuh bernuansa Melayu. Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas telah berkata; “Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan. Bukannya manusia yaitulah syaitan.”

Jauh-jauh hari, sang sastrawan besar Melayu itu telah menaburkan rambu-rambu dalam bermasyarakat, dan bernegara. Itu karena dalam kaca mata Melayu, antara patut dan tidak patut, tetap akan mengikut sertakan pantang larang di dalamnya. Sama ada sebagian dari kita masih menyangsikannya, itu urusan lain. Bukan mengapa, sekaranglah bagi kita untuk kembali mengingatkan diri tentang keberadaan nilai-nilai petuah Melayu menjadi wujud nyata untuk bertingkah laku.

Konsepsi patut perlu dikukuhkan lagi. Dengan bertingkah laku patut akan dapat memberikan ketenangan bukan hanya bagi diri pribadi, melainkan juga bagi lingkungan. Seseorang yang bertingkah patut dengan serta merta akan dapat memposisikan diri pada jalur kebaikan, tentu saja ia berada dalam lindungan Tuhan Yang Kuasa.

Nah, jika sudah sampai pada tahap ini, masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadinya konflik, baik horizontal maupun vertikal. Semua telah dapat diredam sedemikian rupa. Jadinya kawasan Melayu, sebagaimana dulu pernah diangan-angankan oleh para raja-raja sebagai kawasan yang luas, yang didalamnya dapat memberikan ketenangan lahir dan batin, dapat diwujudkan. Kehidupan mengalir dengan sempurna sesuai kehendak dan harapan.

Saat itu tidak akan lagi dijumpai perselisihan sebab perselisihan telah dipadamkan dengan sendirinya oleh kesadaran akan berkelakuan yang patut. Begitu juga terhadap pertembungan antara kejahatan dan kebaikan, terkikis dengan sendirinya.

Ah, betapa saya kerap membayangkan tamadun Melayu akan menjunjung tinggi kata patut dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Betapa saya selalu menghayalkan puak Melayu menemukan jalannya untuk menumbuhkan kesadaran akan patut dan tidak patut serta keberadaan pantang larang. Mudah-mudahan dengan begitu semua petuah yang terkandung dalam Gurindam Duabelas dapat menjadi bukan hanya sekedar pajangan dilemari kebudayaan belaka, melainkan sebagai petunjuk. Bukankah setiap pekerjaan yang telah benar, tidak akan menimbulkan onar?

Ranai, 23 Oktober 2008

Sumber : http://batampos.co.id/ (2 November 2008)
Kredit foto : www.esasterawan.net

KESULTANAN DELI



1. Sejarah

Di daerah Sumatera Utara, ada dua kerajaan atau kesultanan Melayu yang terkenal, yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan yang pertama kali berdiri adalah Deli. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi friksi dan konflik internal antara keluarga raja dalam kesultanan Deli tersebut. Akibatnya, muncul kemudian kesultanan baru yang memisahkan diri dari Deli, yaitu Serdang. Berdasarkan garis asal-usul ini, maka sebenarnya kedua kerajaan ini pada awalnya adalah satu, dan Serdang tak lebih dari pecahan Kesultanan Deli.

Sejarah berdirinya kesultanan Deli bisa dirunut dari Kerajaan Aceh. Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Kerajaan Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, bersama pasukannya pergi memerangi Kerajaan Haru di Sumatera Timur pada tahun 1612 M. dan berhasil menaklukkan kerajaan ini. Pada tahun 1630, ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Haru di Deli Tua. Setelah seluruh kekuasaan Haru berhasil dilumpuhkan, Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan Aceh, dengan wilayah membentang dari Tamiang hingga Rokan. Dalam perkembangannya, atas bantuan Kerajaan Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah tersebut.

Gocah Pahlawan menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti. Sunggal merupakan sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Di daerah tersebut, ada empat Raja Urung Batak Karo yang sudah masuk Islam. Kemudian, empat Raja Urung Raja Batak tersebut mengangkat Laksamana Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana Gocah Pahlawan menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut. Pada tahun 1669, Deli memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, memanfaatkan situasi Aceh yang sedang melemah karena dipimpin oleh raja perempuan, Ratu Taj al-Alam Tsafiah al-Din. Setelah Gocah Pahalwan meninggal dunia, ia digantikan oleh anaknya, Tuanku Panglima Perunggit yang bergelar “Kejeruan Padang”. Tuanku Panglima Perunggit memerintah hingga tahun 1700 M.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 M terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.

Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723 M. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli. Demikianlah, akhirnya Kesultanan Deli terpecah menjadi dua: Deli dan Serdang.

Pada tahun 1780, Deli kembali berada dalam kekuasaan Aceh. Tidak banyak catatan yang menjelaskan situasi dan kondisi Deli selama lepas dari kekuasaan Aceh. Ketika Sultan Osman Perkasa Alam naik tahta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menguat dan melepaskan diri untuk kedua kalinya dari kekuasaan Aceh. Negeri-negri kecil sekitarnya seperti Buluh Cina, Sunggal, Langkat dan Suka Piring ditaklukkan dan menjadi wilayah Deli. Namun, independensi Deli dari Aceh tidak berlangsung lama, pada tahun 1854, Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh, dan Raja Osman Perkasa Alam diangkat sebagai wakil kerajaan Aceh. Setelah Raja Osman meninggal dunia pada tahun 1858, ia digantikan oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam yang memerintah dari tahun 1861 hingga 1873. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud ini, ekspedisi Belanda I yang dipimpin oleh Netcher datang ke Deli.

2. Silsilah

Urutan raja yang berkuasa di Deli adalah:
Sri Paduka Gocah Pahlawan (1632-1653)
Tuanku Panglima Perunggit (1653-1698)
Tuanku Panglima Paderap (1698-1728)
Sultan Panglima Gendar Wahid (1728-1761)
Tuanku Panglima Amaludin (1761-1824)
Sultan Osman Perkasa Alam (1824-1857)
Sultan Amaludin Mahmud Perkasa Alam Syah (1857-1873)
Sultan Mahmud al-Rasyid Perkasa Alam Syah (1873-1924)
Sultan Amaludin II Perkasa Alam Syah (1925-1945)
Sultan Osman II Perkasa Alam Syah (1945-1967)
Sultan Azmi Perkasa Alam Syah (1967-1998)
Sultan Osman III Mahmud Ma‘mun Paderap Perkasa Alam Syah (1998-2005)
Sultan Mahmud Arfa Lamanjiji Perkasa Alam Syah (2005-sekarang)

3. Periode Pemerintahan

Kerajaan Deli berdiri sejak paruh pertama abad ke-17 M, hingga pertengahan abad ke-20, ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama rentang masa yang cukup panjang tersebut, kerajaan Deli mengalami masa pasang surut silih berganti. Selama dua kali, Deli berada di bawah taklukan kerajaan Aceh. Ketika kerajaan Siak menguat di Bengkalis, Deli menjadi daerah taklukan Siak, kemudian menjadi daerah taklukan penjajah Belanda. Dan yang terakhir, Deli bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Wilayah Kekuasaan

Wilayah kerajaan Deli mencakup kota Medan sekarang ini, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina dan beberapa negeri kecil lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatera.

5. Struktur Pemerintahan

Kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan. Permaisuri Sultan bergelar Tengku Maha Suri Raja, atau Tengku Permaisuri, sedangkan putera mahkota bergelar Tengku Mahkota. Putera dan puteri yang lain hanya bergelar tengku. Keturunan yang lain berdasarkan garis patrilineal hingga generasi ke lima juga bergelar tengku.

Dalam kehidupan sehari-hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya, raja/sultan dibantu oleh bendahara, syahbandar (perdagangan) dan para pembantunya yang lain.

6. Kehidupan Sosial-Budaya

Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Kehidupan sosial budaya berikut inipun sebenarnya tidak lepas dari pusat kekuasaan: sultan dan keluarganya.

Sejarah telah lama mencatat bahwa, ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tak ada yang menduga bahwa, dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia: Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para sultan kemudian hidup mewah dan glamour dengan membangun istana yang mewah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah dan sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para tamunya yang kebanyakan datang dari Eropa. Saksi bisu kekayaan tersebut adalah Masjid Raya al-Mashun Medan dan Istana Deli yang masih berdiri megah di kota Medan hingga saat ini.

Berbeda dengan kehidupan para keluarga istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya, dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Ketika komoditas tembakau sedang meledak di pasar Eropa, para petani tradisional tersebut banyak yang berpindah menanam tembakau, sehingga petani padi jadi berkurang. Komoditas pertanian lain yang banyak ditanam masyarakat adalah kopi, karet, cengkeh dan nenas. Tidak semua orang Deli menjadi petani, sebagian di antara mereka juga ada yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama orang-orang Jawa dan Cina.

Dalam sistem kekerabatan, orang Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut telah dikarunia anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli.

Sumber:
Tengku Lukman Sinar. 1986. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya, Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Wikipedia
www.4dw.net/royalark
foto : koleksi pribadi