Senin, 29 September 2008

Menduniakan Melayu dari Yogya

dari harian KOMPAS, 8 Agustus 2008

Kalau jatuh kota Melaka
Papan di Jawa kami tegakkan


Bidal yang berisi semangat untuk terus memperjuangkan keberadaan puak Melayu itu terus terngiang begitu kaki memasuki halaman rumah di Jalan Gambiran No 85 A, Yogyakarta. Muncul-melesap, berselang-seling dengan pekik Hang Tuah yang melintas di benak: Tak Melayu hilang di Bumi!

Di depan, Dick van der Meij berjalan gontai memasuki beranda rumah berarsitektur melayu modern tersebut. Ahli epigrafi dari Belanda yang mengkhususkan diri pada kajian tentang Melayu-Islam itu sempat terpana, kagum, melihat ragam hias ”itik pulang petang” terukir indah di teralis jendela.

Melewati pintu yang ”daun”- nya bergagang replika keris melayu, Dick disambut sang pemilik rumah, Mahyudin Al Mudra (50). Di sanalah, di rumah berarsitektur melayu—yang sejak dua tahun terakhir difungsikan sebagai kantor redaksi MelayuOnline.com—itu sebuah gagasan untuk menggelorakan semangat kemelayuan diwujudkan melalui ”gerakan” di dunia maya.

”MelayuOnline.com didedikasikan sepenuhnya bagi kegemilangan tamadun Melayu. Beruntung saya ditopang oleh teman-teman muda yang berhasil saya provokasi untuk mewakafkan waktunya demi perjuangan mengekalkan khazanah budaya Melayu,” kata Mahyudin, pendiri sekaligus pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM).

Di bawah naungan BKPBM, situs atau laman yang tampil dengan motto ”Melestarikan Tradisi dengan Cara yang Tidak Tradisional” ini dimaksudkan sebagai upaya merajut peradaban Melayu yang sudah mulai kehilangan marwah kemelayuannya. Melayu yang humanis, pluralis, dan egaliter, misalnya, dirasa perlu diaktualkan di tengah gemerlap peradaban materialistis saat ini.

Akan tetapi, MelayuOnline.com tidak berdiri pada tataran praksis. Taruhlah seperti ikut menggelar festival dan sejenisnya. Kehadiran MelayuOnline.com lebih diorientasikan pada apa yang disebut Mahyudin sebagai proses akademisasi Melayu. Artinya, Melayu dijadikan sebuah obyek kajian yang tidak pernah final.
”Dan memang, setelah kami gali dari berbagai sumber, tradisi besar Melayu dengan segala pernak-perniknya itu bagai sumur tanpa dasar. Selalu ada hal baru yang sebelumnya tidak kami ketahui tentang Melayu,” kata Mahyudin dalam kesempatan berbincang dengan Kompas di Gambiran 85 A, Yogyakarta. (Baca juga: Mahyudin ”Gila” karena Keris Melayu, hal 16).

Terbesar dan terlengkap
Sejak diluncurkan di Yogyakarta pada 1 Muharam 1428 Hijriah, bertepatan dengan 20 Januari 2007, laman tentang khazanah Melayu yang beralamat di http://www.melayuonline.com itu sudah disimak 4,5 juta (data hingga 7 Agustus 2008) pengunjung dari 104 negara. Mereka itu di antaranya datang dari sebuah negeri kecil di Afrika yang jarang terdengar di kancah pergaulan antarbangsa: Republic of Seychelles.

”Dari e-mail yang dia kirimkan kemudian, pengunjung MelayuOnline.com dari Republic of Seychelles itu ternyata orang Melayu juga. Dia ’terdampar’ ke MelayuOnline.com setelah berselancar di jagat maya mau mencari resep masakan Melayu,” ujar Yuhastina Sinaro dari Humas MelayuOnline.com.

Inilah pangkalan data tentang Melayu paling besar dan terlengkap di dunia. Terdiri atas 24 menu utama, mulai dari berita dan artikel yang terkait dunia Melayu hingga sejarah dan budaya serta hal-hal lain yang berkelindan dengan Melayu dan kemelayuan. Termasuk juga aspek kuliner, wisata budaya, serta perpustakaan berupa data koleksi BKPBM dan informasi buku-buku tentang Melayu koleksi perpustakaan-perpustakaan terkemuka di dunia.

Terhampar pada laman berbahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis hingga lebih dari 75.000 halaman (setiap hari jumlah ini terus bertambah), pangkalan data disusun ke dalam struktur yang sistematis, integratif, dan komprehensif.
Menurut Mahyudin, penyusunan struktur yang demikian dimaksudkan untuk memudahkan orang yang ingin mengetahui dan memahami budaya Melayu, baik secara ringkas-sepintas maupun serius-mendalam. Meski hak patennya sudah didaftarkan, siapa pun boleh menggunakan pangkalan data ini untuk berbagai keperluan, termasuk untuk penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi.
”Tentu saja harus mencantumkan MelayuOnline.com sebagai sumber yang dikutip,” ujarnya.

Guna memenuhi cita-cita besar menjadikan MelayuOnline.com sebagai pangkalan data acuan tentang Melayu dan kemelayuan, saat ini ada 24 tenaga profesional yang mendukung beroperasinya laman ini. Sebagian besar bergelar master (S-2), terutama dari bidang sosiologi dan antropologi budaya.

”Terus terang, saya terharu mereka mau mewakafkan waktu dan ilmu untuk MelayuOnline.com. Padahal, beberapa di antara mereka punya pengalaman (baca: sekolah) di luar negeri dan bisa memilih bekerja sebagai dosen, misalnya. Tapi mereka mau ke sini dengan gaji yang sangat minimal. Sungguh, saya terhibur dan termotivasi oleh semangat anak-anak muda ini,” kata Mahyudin.
Pendekatan kultur

Melayu sebagai sebuah entitas budaya dalam arti luas memiliki sejarah panjang. Selama ini Melayu cenderung dimaknai secara sempit dan kerap dipahami melalui perspektif tertentu. Tidak heran bila pengertian tentang Melayu bersifat parsial, tidak menyeluruh, bahkan memunculkan varian istilah yang memecah-belah orang Melayu sebagai entitas budaya yang multikultur.

Kawasan Nusantara sebagai basis orang-orang Melayu yang dulu setidaknya mencakup wilayah Indonesia, Malaysia (tentu saja termasuk Singapura), Brunei Darussalam, Filipina—juga Madagaskar—tercerai-berai, terutama sejak kehadiran pemerintahan kolonial. Istilah Melayu-Malaysia, Melayu-Indonesia, Melayu-Singapura, atau Melayu-Brunei muncul sebagai sekat penanda keterbelahan itu.
Di Indonesia sendiri dikenal berbagai macam puak yang sama-sama bercirikan kemelayuan, tetapi dalam sebutan berbeda, macam Melayu-Riau, Melayu-Deli, Melayu-Palembang, atau Melayu-Banjar. Jawa, Sunda, Madura ataupun Bali—sekadar menyebut beberapa wilayah—yang sejatinya juga adalah Melayu justru dari hari ke hari kian ”terasing” warna kemelayuannya.

Label-label baru dilekatkan. Melayu pun direduksi menjadi sekadar etnisitas: ras dan suku bangsa. Bahkan, belakangan, juga ada yang menambahkan label keislaman sebagai salah satu aspek kemelayuan.
”Padahal, jika merunut ke belakang, taruhlah sejak era proto-Melayu yang hadir jauh sebelum fajar sejarah muncul di Nusantara, pandangan semacam ini lemah argumentasinya,” ujar Mahyudin.
Apalagi, tambahnya, secara ontologis kemelayuan dan keislaman merupakan dua dimensi yang berbeda. Etnik Melayu merupakan kumpulan individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Adapun Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Jika yang pertama menciptakan hubungan horizontal, yang kedua bersifat vertikal.
Berangkat dari kesadaran ini, melalui paradigma inklusif, MelayuOnline.com ingin menempatkan Melayu secara lebih luas dan melihatnya dari berbagai dimensi. Istilah Melayu pun lebih dimaknai sebagai sebuah kultur. Bukan Melayu sebagai suku, etnis, atau entitas budaya dalam arti sempit lainnya.

Bagi Mahyudin, Melayu tidak hadir pertama-tama karena ikatan sempit berdasarkan aspek genealogis, tetapi lebih dilatari oleh suatu ikatan kultural.
”Dengan demikian, kata ’Melayu’ yang dipahami oleh MelayuOnline.com merujuk kepada setiap masyarakat penutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat resam budaya Melayu,” kata Mahyudin. Nah!

Sirih junjung sirih pinang
Sirih kuning diberi nama
Adat dijunjung pusaka dikenang
Hidup berbudi mufakat bersama

Tidak ada komentar: