Selasa, 09 September 2008

Penggantinya diusul T. Amir Hamzah

NAMA bandara udara baru di Kota Medan menjadi pemikiran para tokoh Melayu di Sumatera Utara, agar nama bandara pengganti Polonia sesuai kondisi daerah setempat.

Hal itu begitu penting untuk memberi sebuah arti dan membawa dampak besar bagi makhluk hidup, benda dan sebuah peradaban. Nama dapat membuka tabir, pengukuhan peradaban, penjaga harkat dan martabat.

Menurut Annex 14 dari organisasi penerbangan dunia (International Civil Aviation Organization/ICAO), bandara adalah area tertentu di daratan atau perairan termasuk bangunan, instalasi dan peralatan diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.

Indonesia mempunyai beberapa bandara berstatus internasional antara lain Polonia (Medan), Soekarno Hatta (Cengkareng), Djuanda (Surabaya), Hasanudin (Makassar).

Kota Medan merupakan salah satu pintu gerbang wilayah Sumatera. Untuk itu, dibutuhkan sarana transportasi, khususnya transportasi udara.

Perpindahan Bandara Polonia yang berada di tengah kota Medan ke Desa Beringin, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deliserdang, berada sekitar 23 km dari pusat kota Medan, bertujuan meningkatkan keselamatan penerbangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi, pariwisata serta pembangunan kota Medan pada khususnya.

Pembangunan bandara terus berlangsung meski mendapat penolakan warga menyangkut pengorekan pasir laut untuk pembangunan sisi darat. Total biaya pembangunan diperkirakan menelan Rp5 triliun dan paling cepat selesai tahun 2010.

“Untuk itu perlu dipersiapkan nama bagi bandara baru itu,” kata HT Syahrizal Arif, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Laskar Melayu Hang Tuah.

Sementara itu, T. Reza Zulkarnain, selaku Sekjen DPP Laskar Melayu Hang Tuah menilai, dasar pertimbangan usulan nama bandara baru karena bandara menduduki posisi sangat strategis bagi suatu daerah dan negara.

Fungsinya sebagai pintu gerbang menentukan kesan orang luar ketika kunjungan pertama. Kesan pertama tidak hanya ditentukan kehebatan infrastruktur dan asrinya lingkungan sebuah bandara akan tetapi terkait penamaan bandara.

Nama bandara seringkali mengusung simbol dan tata nilai. Di balik nama sebuah bandara terkandung nilai historis, penghormatan dan penghargaan.

Berjasa
Sementara itu, dasar pertimbangan dan usulan pemberian nama bandara baru di antaranya upaya pelestarian sejarah dan budaya setempat. Untuk memberikan penghargaan bagi seseorang yang berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara.

T. Reza yang juga Humas Dinas Perhubungan Sumut menilai, pada saat ini nama suatu bandara berhubungan dengan nama-nama yang memiliki hubungan emosional dalam sejarah perkembangan suatu etnis, terutama dengan nama pahlawan atau tokoh berjasa.

Misalnya, Bandara Sultan Syarif Kasim di Provinsi Riau, Bandara Sultan Taha di Provinsi Jambi dan Bandara Sultan Mahmud Badarudin II di Provinsi Sumatera Selatan.

Menurut catatan sejarah, kawasan pesisir timur Sumut merupakan negeri bagi masyarakat etnis Melayu yang meliputi Kesultanan Langkat (Kabupaten Langkat sekarang), Kesultanan Deli (Kota Medan dan sebagian Kabupaten Deliserdang).

Kesultanan Serdang (sebagian Deliserdang dan Kota Tebingtinggi). Pemerintahan suku Batubara (wilayah Kabupaten Asahan), Kesultanan Asahan (sebagian Asahan dan Kota Tanjungbalai), Kerajaan Bilah, Panai dan Kualuh (Kabupaten Labuhanbatu).

Dari aspek sosiologi, penetapan nama bandara baru Medan dengan nama pahlawan nasional dari etnis Melayu merupakan bentuk penghargaan, pengakuan pemerintah kepada masyarakat Melayu sehingga mampu memberikan motivasi guna membangun jati diri dan negerinya sendiri.

Anggaran Dasar Laskar Melayu Hang Tuah yang memiliki tujuan meningkatkan pengabdian mengangkat harkat dan martabat etnis Melayu di daerah ini.

Nama bandara pengganti Bandara Polonia diusulkan dengan nama “Bandar Udara Internasional Tengku Amir Hamzah” atau Tengku Amir Hamzah International Airport.

Sumber : WASPADA ONLINE, 09 September 2008

Tidak ada komentar: